Selasa, 17 September 2024

Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku


Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku.
Begitu benarkah lamanya.
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa.
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa.

Fajar pun yang tak kunjung teraih.
Begitu benarkah sukarnya.
Kemarauku menggigil dalam nyala.
Musim tempat berbagi yang perih.

Tanganku inikah tangan dukana.
Menjulur-julur dan kemah berkibar badai. 
Suara tanah yang hama sepanjang bencana.
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai.

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku.
Begitu benarkah jarak zamannya.
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur.
Dan kau balas dengan senyum menghibur. 

Be present

Adakah orang yang pernah menyadari kehidupan saat mereka menempuhnya menit demi menit? – Kurt Vonnegut


Empat tahun yang lalu adalah kali pertama saya berkenalan dengan “Bukan Pasar Malam” — Pramoedya Ananta Toer. Saya sudah merasa Mbah Pram seperti Mbah saya sendiri, semacam substitusi dari Mbah Kakung saya yang telah lama tiada. Memang kadang manusia ini keterlaluan, seenaknya menggantikan satu orang dengan orang lain dalam hidupnya. Tapi mungkin itulah memang bentuk kelemahan kita yang sebenarnya tak pernah bisa benar-benar sendiri. Tapi siapa pula yang bisa menggantikan orang lain? Di hati saya setiap orang yang bermakna punya rekam jejaknya sendiri yang khas yang tak akan pernah bisa digantikan dengan yang lain. Demikianlah mungkin, posisi kita di dunia ini ditentukan, kita sebagai salah satu partisi dari kesetimbangan semesta, kita yang seharusnya tak memiliki apa-apa tapi ternyata malah merasakan semesta. Maka tak ada yang bisa menggantikan siapa-siapa.

Ada satu romantisme dan kedekatan sendiri yang terasa ketika pertama kali menelanjangi buku ini. Ya, sekali waktu kita berniat menelanjangi orang lain tapi ternyata malah kita yang ditelanjangi. Dan sampai kini saya masih ingat betul kata demi kata yang menelanjangi saya ketika itu : “Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” Saya yang waktu itu merasa seakan-akan menemukan sahabat lama saja.

Tiga hari yang lalu setelah senja seorang kawan menghampiri saya. Dia menanyakan hal yang sama yang pernah kamu tanyakan dulu — tentang makna hidup. Ada kehampaan yang mulai menghinggapinya katanya. Ah, kehampaan yang khas yang kurasa akan dialami semua manusia pada satu titik hidupnya. Bedanya hanyalah ada yang merasa cukup dengan merasakan hampa saja, ada yang mencari asal muasalnya, ada yang mengikat maknanya, dan ada pula orang seperti kita yang terlalu jauh berkawan dalam kehampaan itu. Karena semakin akrab kita dengannya, semakin pula tanpa sadar kita ikat diri kita kepadanya, semakin kita pahami bahwa kehampaan tak serta merta adalah sebuah kegelapan menjijikan yang harus dihindari dan tak dianggap ada– Kita orang-orang terkutuk yang dikoyak-koyak sepi yang menerimanya sebagai bagian dari cahaya.

Ya, hidup jika dilihat secara penuh memang menjijikkan. Terlebih lagi jika kita sudah terlalu sering bermain dengan diri dan hidup kita sendiri, kita bertualang tak memberi batas pada apapun juga. Perlahan-lahan segala bentuk kemungkinan menjadi semakin terbuka, termasuk kemungkinan-kemungkinan paling gelap sekaligus. Kita yang menjalani peran sebagai orang pertama, kedua dan ketiga sekaligus perlahan-lahan akan jijik dengan diri kita sendiri. Tapi itu cuma awal mula, kemudian kita jijik dengan orang-orang sekitar kita, dengan bumi yang penuh tipu-tipu dan kepura-puraan, dengan basa-basi biasa bagi tiap orang setiap detik hidupnya yang sebenarnya semu. Kita terbiasa berkubang dalam gelap sampai-sampai tak percaya bahwa kebaikan dan keikhlasan murni itu ada– tidak sampai kita kehilangan sesuatu dan sesuatu itu mnegajari kita dengan keras — kita menjadi monster, tak lagi percaya pada nilai-nilai murni dalam hidup manusia.

Ya, tak ada yang perlu ditakuti sebenarnya, kita lahir di dunia sendiri, pergipun akan sendiri. Dan seperti kata Vonnegut, “kelahiran dan kematian itu murni kebetulan saja”. Benar, dalam skala besar tak ada yang spesial dalam hidup kita. Usahamu untuk membuat dunia menjadi baik tidak akan berhasil sampai engkau mati, butuh waktu ribuan tahun untuk memperbaiki kehancuran ribuan tahun. Ya, kesia-siaan itu memang benar adanya.

Tapi minggu lalu aku benar-benar ke pasar malam. Pasar malam kecil-kecilan yang digagas kawan-kawanku. Aku bahkan memandangi langit di atas perahu kora-kora pada jam tiga pagi. Langit yang sama menyenangkannya, seakan-akan semua permasalahan dan kemunafikan kolong langit ini tenggelam didalamnya. Menenangkan. Tak ada mainan spesial disana, apalagi yang seperti kau lihat di Dunia Fantasi. Cuma ada beberapa mainan yang sudah mulai karatan dengan maintanance  seadanya, dihias dengan lampu-lampu dan cat warna-warni agar lebih ceria. Terkadang terbersit pula di otakku kalau mainan-minan itu tak memenuhi standard keamanan minimal.

Dan benar, berbondong-bondong pula orang datang kesana, bersama sahabat, kekasih, istri, suami dan anak. Jarang benar aku melihat teteh-teteh disekitar sana sengaja memoleskan gincu merah merona murahan di bibirnya. Berbondong-bondong datang, berbondong-bondong pergi, diantara mainan-mainan murahan yang tak ada standard keselamatannya dan dentuman musik yang terdengar pecah ditelingaku. Tempat ini kacau. Tapi bukan berarti karena kekacauan diantara bau sampah yang menyengat dari tempat pembuangan sampah yang berjarak 10 meter dari tempat ini tak ada hal-hal yang bisa dinikmati.

Disinilah tempat orang-orang tersenyum lepas di tengah hingar bingar sekitar yang terjadi. Bocah-bocah kecil lari berkeliaran sambil tertawa dan sesekali menangis mungkin menikmati kebebasan mereka yang biasanya jam-jam segitu sudah dipaksa untuk tidur. Orang-orang renta tak peduli suhu Bandung yang semakin dingin, mereka duduk di tepi-tepi jalanan sempit, sekedar melihat-lihat keramaian yang ada sambil sesekali tersenyum. Orang-orang tak saling mengenal yang kebetulan sama-sama sendiri dan duduk bersebelahan bertukar obrolan ringan, ya memang basa-basi, tapi dengan keriangan yang berarti. Dan kesegala penjuru kupandan kudapatkan senyum lepas dari orang-orang yang kebanyakan belum kukenal.

Ya, demikian pula hidup yang kita jalani ini. Sekalipun semuanya sudah tertebak, sekalipun apa yg kita lakukan tak akan memberi arti banyak, sekalipun semua utopia akan berujung kegagalan karena tak ada yang bisa kita pastikan, sekalipun ada diri yang sudah terlalu sering disakiti manusia-manusia lainnya yang berubah menjadi binatang dalam menjalani hidup, sekalipun tak ada yang benar-benar nyata dan dunia ini dipenuhi selubung ilusi — bukan berarti tak ada yang bisa dinikmati, tetap sekali dua kali akan kita temukan senyum tulus tersungging di ujung bibir.

Maka, kalaupun kita mendapati hal-hal itu hanya sekali ataupun sesekali, ingatlah terus segala yang pernah akrab, senang dan tulus pada kita. Sekalipun hidup ini memang bukan pasar malam. Sekalipun di awal kita sendiri, di akhir kita sendiri dan diantaranya yang kita bisa benar-benar jamin dan miliki hanyalah diri kita sendiri.

Jika ini bukan bahagia, aku tak tahu lagi namanya.

Ya, hidup memang bukan pasar malam, tapi diantaranya selalu ada yang bisa membuat kita tersenyum — dikala aku menempuh kehidupan ini detik demi detik, menit demi menit, disanalah kujumpai hidup yang sebenarnya.

Memento Mori

Memento Mori adalah sebuah frasa latin yang tidak sengaja saya temui beberapa hari yang lalu. Karena ingatan saya yang buruk, saya bahkan lupa saya melihat frasa ini di buku mana, ya kalau tidak The Hunger Games-Suzanne Collins mungkin  Zarathustra-Nietzsche, dua buku itulah yang mencuri perhatian saya belakangan ini. Memento Mori adalah sebuah frasa yang ‘bertugas’ mengingatkan kita kepada kematian. Secara harafiah, dia memliliki arti :  Ingat, Kau Harus Mati. Selain lewat frasa, memento mori  juga didapati dalam istilah seni. Aliran seni ini ditandai dengan patung-patung ataupun gambar yang pada dasarnya mengingatkan diri pada kematian, entah berupa tulang belulang, upacara pemakaman dan sejenisnya.


Yang menarik adalah, konon seorang Jenderal Roma (yang saya lupa namanya) amat sangat memegang teguh frasa ini. Ia bahkan memiliki seorang asisten yang hanya memiliki satu tugas. Tugas si asisten itu adalah untuk selalu mengingatkan Sang Jenderal, tidak peduli seberapa berjaya dia di hari ini, seberapa besar kemenangan yang dipetik oleh si jenderal hari ini, cepat atau lambat dia akan jatuh atau dijatuhkan. “Memento Mori!” begitulah sang asisten seakan-akan mengingatkan “Ingat, Kau Harus Mati” atau “Ingat, Kau Akan Mati” atau “Ingat, Kematianmu”

“Respice post te! Hominem te esse memento! Memento mori!“: “Look behind you! Remember that you are but a man! Remember that you’ll die!”–Tertullian dalam Apologeticus

Begitulah batasan antara keberadaan dan ketiadaan kita terasa begitu tipis. Lalu apa yang tersisa jika disatu titik tiada berarti ada dan ada berarti tiada? Ketiadaan bukan juga berarti hilangnya ruh dalam jasad seseorang. Ketiadaan juga berarti dibunuhnya sesuatu dari hidup kita tanpa sadar. Apa itu? ide! kenangan! dialektika pikiran kita dimasa lalu yang menjadikan kita sekarang! kebanyakan dari kita tidak pernah sadar bahwa perlahan-lahan ternyata kita ‘membunuh’ diri kita sendiri. Kita membunuh diri kita yang asli, ide-ide kecil yang menjadikan aku Aku. Kenangan dan rasa yang sederhana yang menjadikan kita manusia. Sebuah kewarasan yang harus diperhatikan untuk selalu ada.

Untuk itulah, Memento Mori  bagi saya sendiri, untuk menjadi pengingat saya di tahun-tahun ke depan, agar apapun yang terjadi, apapun jalan yang saya pilih, saya selalu bertahan dan tidak melupakan siapa saya sebenarnya. Agar saya yang di masa depan  tidak serta merta membunuh masa lalu. Agar saya menghargai hidup sebagai sebuah bentuk proses dan perjalanan. Agar saya selalu ingat bahwa saya adalah manusia yang terbentuk dari gerak kosmik sekian juta, ratusan bahkan milyaran tahun yang lalu. Saya adalah bentuk dialektika dan sebab-akibat semesta. Saya adalah yang menjadikannya hidup atau mati, yang menepis batasan dimensi ruang dan waktu

Dan hidup kita,kata seorang arif bijaksana,terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu.” — Goenawan Mohammad

    Jam di pojok kanan bawah laptop kesayangan saya sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Semalaman tadi saya kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan lama — mencoba bernafas dan menikmati tiap-tiap tarikannya. Ya, saya dan malam punya keakraban yang unik. Ada semacam kedamaian sendiri diantara gelap, sepi, jalanan yang lengang dan rembulan yang seakan-akan sejengkal di kepala saya. Yang saya temui diantara pekat malam ini hanyalah mahasiswa-mahasiswa yang berombongan di rumah makan 24 jam, ya berhubung kandang gajah memang sedang musim ujian, para penjaja kenikmatan yang masih curi-curi diantara jam malam, pengemudi taksi dan pedagang pasar.


    Ini tahun ke-enam saya di kandang gajah, mau tidak mau harus menjadi tahun terakhir. Memang menyebalkan ketika saya sedang dalam usaha membebaskan jiwa, saya dipaksa untuk patuh terhadap sistem. Saya bergulat sangat lama bahkan sampai detik ini untuk memutuskan apakah saya akan menuruti pembebasan di diri saya atau akhirnya takluk pada sistem yang berlaku. Kandang gajah memang universitas yang bergengsi, salah satu universitas dengan passing grade tinggi di Indonesia dan katanya salah satu yang terbaik untuk urusan sains dan teknik. Tapi ada kekosongan yang mulai menyerang ketika saya tingkat dua dan bergerak menuju titik ekstrimnya ketika saya tingkat tiga — kandang gajah perlahan telah melenyapkan kesenangan saya untuk belajar.

    Saya tipikal pembelajar mandiri entah dari kapan. Waktu kecil dulu saya menyenangi ensiklopedia bergambar yang bercerita tentang bumi, luar angkasa dan sejarah. Ketika saya kelas 5 SD saya mulai belajar sendiri apa yang kelas 6 SD pelajari. Bukan karena balasan nilai atau juara yang dulu kerap saya dapat, motivasi saya dalam belajar hanyalah karena iseng dan penasaran. Saya tipe orang yang semakin dipaksa akan semakin malas dan nilai-nilai tinggi tak berarti apa-apa bagi saya.

    Saya baru sadar, hal-hal semacam itulah yang disebut kasmaran belajar. Mirip ketika jaman-jaman kelas 2 SMA ketika saya mulai mengkonsumsi buku-buku soal SNMPTN, ada kesenangan menyenangkan menaklukan sesuatu yang belum saya ketahui. ada kegelisahan dan euforia yang khas ketika keingintahuan saya terpenuhi. Mirip ketika jatuh cinta, ketika bangun pagi yang ada di kepala saya adalah permasalahan yang belum saya dapatkan solusinya semalam tadi, ketika tidur saya tertidur dengan buku disebelah saya. Saya mempelajari apa yang ingin saya pelajari, saya bertanya, mencari jawabannya sendiri dan berdiskusi dengan orang-orang yang lebih tua yang bisa memosisikan saya secara egaliter dan tidak sebagai anak kecil sok tahu. Dan hal inilah yang hilang di kandang gajah.

    Kami disini dikejar oleh jadwal-jadwal tertentu terhadap tugas-tugas, praktikum, presentasi dan ujian. Ya, yg konon ingin menjadi world class university ini sepertinya memang mengejar kualitas kompetensi. Terlebih lagi sistem pengelolaan kampus yg bergeser menjadi BHMN akhirnya membuat kandang gajah menendang mahasiswa secepatnya. Ya, sukses disini berarti lulus secepatnya dengan indeks prestasi yang memuaskan. Kami yang dikejar-kejar hal-hal semacam ini mungkin memang bisa mendapatkan kompetensi yang bagus, yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang tertera di berbagai perusahaan. Kandang gajah seperti perusahaan pencetak tenaga kerja saja :))

Tapi apakah belajar hanyalah sekedar untuk dapat kerja?

Apakah belajar hanyalah sekedar untuk mendapatkan indeks prestasi bagus hingga tak tertinggal dari kawan-kawan seangkatan?

Apakah belajar hanyalah sekedar menjawab dan mengetahui “kenapa” yang diajukan dosen-dosen di dalam ruang kelas?

Entah kenapa, universitas yang seharusnya mengajarkan pola pikir “apa” “kenapa” dan “bagaimana” ternyata tak berhasil menghadirkan keingintahuan bagi murid-muridnya. Ruang kelas terasa sebatas tembok dingin tempat pengajaran, bukan pendidikan berlangsung.

Ah, proses belajar mengajar seperti ini membosankan, membuat saya menjadi robot, bergabung bersama barisan pencari kerja untuk pada akhirnya bisa bertahan hidup. Kami yang ini tidak dididik untuk peka terhadap keadaan lingkungan, kejadian-kejadian terkini di masyarakat dan berpikir bagaimana pengetahuan kami diaplikasikan untuk kembali pada akarnya– pada kemanusiaan.

 

Ya, science dan engineering seharusnya tak bisa lepas dari akarnya– dari kejadian sehari-hari di masyarakat. Tapi bagaimana bisa para civitas academica yang berada di menara gading yang kakinya terlampau suci hingga tak sudi ia jejakkan ke tanah penuh lumpur bisa mensintesa antara kejadian dengan ilmunya sehingga peradaban berkembang?

    Bagi saya pribadi, ada satu masalah utama yang saya rasakan di kampus ini sejak tahun ketiga yang tak dapat saya hiraukan. Ilmu saya mengajarkan “how” tapi bukan “why”. Dan darisinilah saya mendapatkan kasmaran lain, saya belajar filsafat, politik, sejarah dan sastra (ya, sastra yang selalu bisa menghidupkan jiwa) yang saya pelajari secara otodidak. Saya banyak membaca, berdiskusi dengan banyak orang, keluar dari ruang kelas, menemukan sisi dunia yang absurd yang tak tertera di literatur engineering atau dijelaskan di ruang kelas, tanpa sadar dalam 3 tahun ini saya lahap 100an buku diluar engineering untuk menjawab keingintahuan saya tersebut. Tapi bagi saya ada hal-hal yang lebih berharga yang tidak akan ditemui di buku apapun atau guru manapun. Pada akhirnya: buku-buku, guru-guru dan teman-teman hanya bisa mengajarkan metode, untuk mendapatkan makna, militansi dan ‘kenapa’ sesuatu hal harus diperjuangkan ada hal-hal yang harus dialami– maka dari itu saya travelling.

    Ada satu hal yang menarik yang saya rasakan sangat berbeda ketika saya menemui kawan-kawan saya yang jadi pejuang kemanusiaan karena mengalami ketidakadilan dalam hidupnya dan anak-anak kandang gajah. Mata kawan-kawan saya itu ada nyawanya ketika mereka berbicara tentang pekerjaan mereka yang harus diselesaikan atau pejabat-pejabat korup sialan yang memakai kekuasaannya dengan jalan yang kotor. Sementara mata kawan-kawan kandang gajah saya adalah mata yang mati, yang lelah ketika bercerita tentang pekerjaannya, tentang design, tentang kalkulasi yang harus mereka selesaikan.

    Dan bagi saya, pada akhirnya saya mendapatkan “kenapa” saya memang bukan di ruang kelas, tetapi diantara perbincangan saya dengan kuli pelabuhan, dengan korban kerusuhan tanjung priok, dengan ekspat australia yang menjadi seorang maritime archeolog dan rekonstruksi relief di borrobudur, dengan orang tua dari makassar yang diumur belasan dulu telah berlayar dengan cadik hingga singapur, dengan seorang sarjana geologi yang keluar dari perusahaan besar dan mengabdikan dirinya untuk teknologi tepat guna di daerah tertinggal, dengan ahli kapal dari belanda yang mengabdikan dirinya mendokumentasikan 200 kapal di Indonesia, dengan melihat bangunan-bangunan bergaya cina sisa zaman perdagangan VOC dulu, dengan mendengar langsung cerita-cerita kenapa Pram membuat Arus Balik, dengan terombang-ambing di kapal kecil di laut lepas sementara langit badai bergejolak di sekitar, dengan berdiskusi dengan kakek tua yang seumur hidupnya tak pernah kegunung hanya dipantai saja, menjadi nelayan sementara tak satupun anak dan cucunya ingin menjadi nelayan, dengan bermalam di pantai kecil tanpa listrik dan kutukan bapak-bapak nelayan atas harga solar yang semakin mahal, dengan sebuah kampung di madura yang masih mempertahankan tradisi konstruksi kapal yang alami, dengan cerita langsung dari abang-abang yang memburu paus di  NTT sana — dan tak satupun perasaan-perasaan yang saya dapatkan diantara perjalanan ini bisa saya dapatkan di ruang kelas.
    
    Ya, 3 tahun, 100an buku, kekesalan terhadap sistem pendidikan di kampus gajah yang mengerdilkan makna pengetahuan dan kenekadan untuk “meninggalkan” ruang kelas hingga saya belum lulus di detik ini sementara kawan-kawan saya memulai karir dari dua tahun yang lalu– inilah hal yang harus bayar untuk “memuaskan” keingintahuan saya itu, hingga akhirnya saya bisa mendapatkan jawaban “kenapa” dan membentuk jembatan antara social problems di bidang saya dan scientific question yang pada akhirnya diajukan.

    Tulisan ini saya buat diantara kewajiban-kewajiban akademik yang akhirnya saya punguti lagi, mungkin kali ini memang saya akan bersabar, tutup mulut dan tunduk pada sistem yang ada saja. ya, tak apa, yang penting saya sudah ketemu jawaban dan jalannya, bukankah tak ada yang benar-benar bisa kita menangkan dalam hidup?

    Maka kepada kawan-kawan dan adik-adik — bertanyalah, lepaskan segala pencarian dan pertanyaan kita, keluarlah dari ruang kelas, lepaskan identitas prestige kandang gajah, kotorkanlah kakimu dengan lumpur-lumpur, tersesatlah, belajarlah dari yang pernah mengalami langsung, rendah hatilah karena belajar dan ilmu pengetahuan tak mengenal kasta, karena sesungguhnya yang paling mengetahui solusi dari permasalahan adalah orang-orang yang mengalami secara langsung. Harusnya seorang menteri ekonomi mengerti artinya lapar dan tidak memiliki uang membeli makanan, menteri kesehatan mengerti rasanya ketika sakit dan disekitarnya tak ada dokter atau perawat, dan presiden seharusnya mengalami (sekalipun dalam partisi terkecil) segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Keluarlah dari ruang kelas yang selalu didoktrin menjadi putra-putri terbaik bangsa, menjadi pemimpin masa depan bangsa. Keluarlah dan sadari, karakter dan militansi tak dapat ditempa di ruang-ruang kelas, tapi dari pengalaman pribadi, dari sebuah dendam melihat kesenjangan yang terjadi yang pada akhirnya menguatkan prinsip kebenaran ilmiah yang sempat dipupuk.

    Dan kepada dosen-dosen yang saya sayangi — jadilah pendidik, bukan cuma pengajar. Ajarilah kami makna dan filosofi, bukan sekedar kompetensi. Pancinglah kami untuk bertanya dan resah atas apa yg terjadi di ilmu kami, bukan sekedar resah di pikiran, mulut dan kertas ujian, tapi resah dari dasar hati. Lebih dari itu, timbulkan keingintahuan dan kasmaran pengetahuan di diri kami– jangan matikan.

Bukankah dengan bertanya jiwa kita jadi bebas dan kita belajar benar-benar menjadi manusia? :)

Ah, sayapun harus menyelesaikan sistem yang ini, sekalipun sangat menyebalkan dan tidak membebaskan :))

    Sudah berjam-jam ia duduk di tempat itu, telah ia saksikan pula hiruk pikuk berpuluh-puluh orang di sekitarnya. Meja diujung sana telah berganti penghuni sebanyak lima kali, sementara ia tetap tak beranjak dari tempat duduknya sejak siang tadi. Ia menatap kosong jalan layang beserta entah puluhan bahkan ratusan kendaraan yang lalu lalang disana– orang-orang yang menyibukkan diri agar hidupnya bermakna, sekalipun makna yang dilekatkannya sangat artifisial dan penuh kepura-puraan. Ia memandang bermenit-menit ke jalanan, jika bosan ia memandang langit, melihat awan berarak dan langit bergerak, dari terang terik ke kelabu teduh, hingga tiba saatnya senja menjemput.


    Ia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu, mungkin menunggu senja, senja yang terlanjur dicintainya sekalipun ia mengaku belum memahami cinta itu apa. Tapi mungkin saja ada yang ditutupinya dengan kesenangannya memandang senja, entahlah. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu waktunya tidak didasari pergerakan matahari atau rembulan atau objek tertentu di langit. Beberapa bulan ini waktunya didasari berapa banyak pikirannya yang berlalu seiring batang demi batang rokok yang dihisapnya.

    Orang-orang lalu lalang di belakangnya tak akan menganggapnya ada. Dia hanya noktah kecil diantara kerumunan dan pikuk dunia. Sekalipun warnanya berbeda dari sekitar, dia terlalu kecil untuk dianggap pengganggu yang bermasalah, sekalipun masih ia dengar cericit suara orang-orang jalang yang berbisik tentangnya. Ya, orang-orang jalang yang seakan-akan mengenalnya dan peduli, padahal yg tersisa dari mereka bukan fisik yg berada di sampingnya, tapi cericit suara suruhan-suruhan untuk ikut arus saja–agar ia tidak melawan, agar ia bergabung pada barisan kebanyakan.

    Tiap hisapan di rokoknya perlahan-lahan menjadi satu ketukan detik yang baru, satu mekanisme pernafasan yang baru, sekalipun sahabat dekatnya selalu menakuti-nakutinya dengan kematian dia tak peduli– dia sudah tak takut pada kematian. Yang tak pernah memiliki apa-apa tak akan kehilangan apa-apa katanya.

    Katanya ia menunggu senja, tapi ternyata ia ada disana sepanjang hari dan malam. Ketika mentari terbit ia berkata menunggu senja. Ketika rembulan muncul ia berkata masih meresapi sisa senja. Dan lagi-lagi ia terus bernafas dengan bantuan rokok, menenangkan syarafnya dengan bercaangkir-cangkir kopi hitam pekat sempurna kesukaannya, kopi yang telanjang, yang jujur, seperti hidup yang selalu diharapkannya. Ia menunggu. Tapi rupanya bukan senja yang ia tunggu.

    Ia tak pernah menyukai keterikatan pada apapun. Ia selalu bisa sendiri dan tak butuh apapun. Manusia-manusia disekitarnya adalah palsu, tak akan bergerak jika tak ada keuntungan pribadi bagi dirinya sendiri. Ia dibesarkan dalam kegelapan, berkali kali ia memanjat dinding kegelapan untuk melihat cahaya, tapi rupanya cahaya terlalu menipu, semakin tinggi ia memanjat, semakin dekat cahaya tapi tembok kegelapan meninggi. Ia telah berjanji pada dirinya untuk tak berharap melihat cahaya lagi, biarlah ia terima kegelapan apa adanya. Ah, tapi ternyata itu rasionalisasinya belaka, ia cuma takut jadi silau dan hancur oleh cahaya yang belum pernah diterimanya dipeluknya dan dibiarkannya masuk ke dalam relung hatinya, merobohkan tembok-tembok yang bertahun-tahun dibuatnya.

    Ia memang keras kepala, karena keras kepalalah yang membuatnya bertahan hidup sejauh ini, itulah bukti ia memiliki dirinya sendiri. Tapi keras kepalanya jugalah yang menyebabkan ia memilih tak melihat cahaya yang muncul dihadapannya berbulan-bulan yang lalu, yang menawarkan hangat, yang kepadanya dia bisa lepas. Dan hal itulah yang mengganggu pikirannya, yang membuatnya beralasan duduk disana menunggu senja, dia cuma sedng menunggu seseorang, orang yang sama seperti berbulan-bulan yang lalu, yang diabaikannya dan tak dapat disentuhnya secara langsung–dia terlalu pengecut. sampai sekarangpun masih pengecut.

    Diam-diam dia rindu, dia butuh kehangatan dari emosi-emosi yang meluap di hatinya, yang telah lama disimpannya, yang bisa dibaca pembawa cahaya itu.Ya, kali ini dia merasa butuh pertemuan-pertemuan seperti sore itu, basa-basi menyenangkan dengannya, ketika ia akhirnya menangis di depan pembawa cahaya yang disangkalnya itu, yang mengingatkannya kembali tentang nikmat hidup, dan bahwa sakit bukanlah sebuah penjara, tapi yang menjadikan hidupnya hidup, yang membuatnya mengeluarkan yang dipenjarakannya dihatinya.

    Dan penyaksiannya terhadap senja dari kala itu adalah bentuk isyarat cintanya yang keras kepala. Dia menunggu di tempat yang sama, berharap diantara senja pembawa cahaya itu akan datang lagi. Kali ini akan ia biarkan itu cahaya menyesap ke dalam relung hatinya, merobohkan semua temboknya, membuatnya sempurna.

Tapi ia takut telah terlanjur menularkan kegelapannya.

Ah, inipun rupanya isyarat cinta yang keras kepala juga.

– kali ini dia runtuhkan sendiri dirinya yang dibangun bertahun-tahun, dia butuh cahaya.

    Ternyata kematian tidak mengerikan, sayangku. Apapula yang mengerikan dari sebuah kebebasan yang benar-benar tak berbatas? Bukan kebebasan semu seperti hidup yang kita jalani dulu. Akhirnya kupahami juga kenapa engkau senang menerawang memandangi lautan tak bertepi dan langit tak berbatas, sebab dalam ketakberbatasan itu tersimpan pula segala kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk benar-benar bebas dan lepas, selepas angan kita ketika kita pandangi langit malam gelap berbintang malam itu, sayang.


    Sekarang kupahami pula kenapa beberapa kematian diperingati oleh yang masih hidup. Hidup hanyalah satu iterasi yang telah ditinggalkan bagi yang mati, setelah itu ya selesai. Tak ada yang spesial. Aku mati, jantungku berhenti berdetak, aku menyatu bersama cacing-cacing dalam tanah, perlahan-lahan tubuhku akan terdegredasi, menyatu bersama ibu bumi. Mungkin aku akan menjadi unsur hara yang berguna. Puluhan tahun kedepan mungkin area perkuburan ini akan menjadi pekarangan sebuah rumah. Ya, engkau tahu sendiri bagaimana kebutuhan manusia terhadap lahan tempat tinggal di kota ini semakin  meningkatkan. Mungkin diatasku akan ditanam pohon pisang, atau jambu atau alpukat, maka ketiadaanku akant tetap berguna bagi semesta ini sekalipun aku tiada.

    Tapi ada orang-orang yang kematiannya diperingati oleh yang masih hidup. Sebab orang-orang hidup seringnya butuh alasan untuk hidup. Ya, aku ingat dulu engkau pernah berkata bahwa tujuan-tujuan hidup itu keterlaluan, hidup ya sesederhana bernafas saja, tak perlu menciptakan tujuan-tujuan utopis begitu. Tapi sayangku, aku tahu betul itu adalah reaksi kekecewaanmu atas realita. Yang paling membenci sesuatu sering kali pada satu titik sangat mencintai hal itu– kekecewaanmu adalah bentuk kecintaanmu juga, sayangku.

    Rasa-rasanya konsep dunia-akhirat itu terbalik, sayangku. Ya, aku tahu engkau tak lagi peduli pada surga-neraka, tapi bersabarlah sedikit mendengarkan penjelasanku, sayang. Memang tak mungkin rasanya kuminta ide-ide dan dialektika di pikiranmu itu berhenti, tapi di beberapa titik engkau harus belajar bersabar dan mendengarkan dulu, sayang. Jika surga dan neraka benar-benar ada, aku kini yakin surga dan neraka ada di dunia orang hidup, diciptakan oleh manusia sendiri.

    Surga-neraka di kitab pada beberapa titik hidupku hanyalah tipu-tipu yang diberikan pada manusia. Surga ala Islam, Kristen, Sorge ataupun Nirwana adalah tipu-tipu. Tuhan di kepalaku waktu itupun bisa jadi tipu-tipu juga. Manusia-manusia ini hidup dari pelarian satu ke pelarian lainnya, ada kalanya kita letih, ada kalanya kita tak mau menghadapi–apalagi menghidupi realita. Maka disana kita butuh sebuah jaminan, sebuah konsep tentang keindahan, sebuah kepastian bahwa semua akan berakhir bahagia, sebuah pengampunan dari rasa bersalah di dalam batin. Maka bukanlah Tuhan, surga-neraka adalah sebuah pelarian manusia dari kehidupan manusia juga? Seharusnya jika benar-benar ingin mendekap Tuhan, memahami surga-neraka, manusia-manusia ini menyingkirkan tiap ketakutannya dahulu, melepaskan kemelekatannya terhadap hidup– bahkan kepada Tuhan ataupun agama sekalipun. Tapi sepertinya cuma orang yang cukup gila seperti aku dan kamu, sayangku, yang melakukannya tanpa tendensi apa-apa. Orang-orang seperti kita telah sampai pada satu titik bahwa kita tak lagi memerlukan kepastian-kepastian.

    Aku tak pernah menyesali hidupku, sekacau dan sehancur apapun jalanan yang kulalui– sebab aku membuat pilihan-pilihanku sendiri. Kalaupun ada yang kusesali adalah ketika saat itu bibirmu tak sempat kukecup. Kita orang-orang bebas. Kita memiliki kesunyian masing-masing. Kita memiliki jalan masing-masing. Kita yang begitu berbeda sekaligus begitu serupa. Dan kitapun sama-sama berpendapat, sayang, ini tubuh tak ada yang boleh memiliki. Orang semacam kita tak butuh identitas tertentu, bahkan identitas untuk tidak dikenal sekalipun kita tak butuh. Bibirmu adalah milikmu, tak akan kuganggu. Lagipula ketika ada dorongan dari diriku untuk mengecup bibirmu, membelai rambutmu, memelukmu, bersandar pada bahumu, dorongan-dorongan itu tak akan kupercaya karena ketika mengenalmu aku sedang belajar mengendalikan diriku– lagipula saat itu aku tak percaya sesuatu yg disebut cinta.

    Tapi rupanya itu yang jadi salahku, sayangku. Diujung kematianku, bukan Tuhan, bukan dosa, bukan neraka, bukan masa depan dunia yang menghantui pikiranku. Adalah sepotong bibir dan sorot matamu waktu itu yang menghantuiku. Dan surga memang sebuah dugaan-dugaan dan harapan. Surgaku kini adalah sepotong bibirmu untuk kukecup, sedangkan nerakaku adalah ketiadaanmu. Bibirmu ternyata malah menggantikan keberadaan Tuhan, sayangku.

Ternyata sejak kutolak mengecup bibirmu aku tak lagi merasa hidup. Ada absensi dalam hidupku dan rupa-rupanya ini lebih mengerikan daripada kematian.

Ah, terkutuklah semua ego dan kebanggaanku untuk mengakuinya dulu.

Ah, kalau saja kukecup bibirmu waktu itu, tentulah kurasakan kembali hidup itu apa.

 Jani, tangis pertamamu adalah hal yang membuatku berjanji untuk menjadi lelaki yang lebih baik. Aku tak sabar melihat tawa pertamamu, langkah pertamamu, dan saat pertama kalinya kau memanggil namaku dengan lugu.

--- Aku, 1990

Jani, kau bertanya mengapa kau tidak bisa menyentuh pelangi. Kau merengek karena aku tidak mengambilkan pelangi untukmu. Terkadang hal indah memang tidak diciptakan untuk kita miliki, hanya untuk kita pandangi dari kejauhan dan kita syukuri keberadaannya.
--- Aku, 1995

Jani, kau kesal, anak-anak di sekolahmu mencacimu karena kau berbeda. Matamu berwarna biru dan kulitmu putih pucat. Tak perlu kau pedulikan. Mereka yang tidak bisa menerima perbedaan adalah mereka yang berpikiran sempit. Kelak akan kau temukan sahabat sejati yang takkan pergi meski kau terpuruk. Sahabat yang akan merangkul ketika mereka memukul.
--- Aku, 2002

Jani, sudah 3 hari kau tak keluar kamar. Lelaki bodoh itu tidak bisa menghargaimu yang sudah mati-matian mencintainya. Jangan takut, terkadang untuk memulai kisah baru, kau harus mengakhiri kisah lama terlebih dahulu. Aku percaya Tuhan sudah mempersiapkan skenario yang tidak kalah indah untukmu. Tersenyumlah..
--- Aku, 2008

Jani, andai aku bisa terus bersamamu. Kau pasti akan terlihat cantik dengan toga. Kau juga pasti akan terlihat anggun dengan baju pengantinmu. Jangan menangis 
sayang, bukan aku tidak menyayangimu, sungguh bukan itu, hanya saja Tuhan terlalu menyayangiku hingga memanggilku terburu-buru. Jika disana mereka bertanya hal terbaik apa yang pernah terjadi dalam hidupku, aku akan menjawab 'dirimu'. Aku tidak pergi. Jika kau rindu aku, aku akan ada di pojok hatimu, bersembunyi untuk menyelinap dalam mimpimu. Aku menyayangimu Rinjani, anakku.
--- Aku, 2011

(Sebuah ketikan sederhana yang aku tulis sore sembari mendengarkan Switchfoot - Souvenirs dan melihat senja.)

aku melebur bersama tenggelamnya matahari

aku pagi kau malam, kita mungkin memanglah telah berbeda 

kita masih menjadi daratan, dangkal,
 
berujung. tiap detik tumbuh, tinggi hingga menyamai langit, langit lagi, langit lagi, lagi, lagi, lagi.

kita akan bersama-sama mengairi ladang kita, memberi makan ternak-ternak kita dan sesekali bercanda gurau di halaman rumah kita.

setahuku, jika kebahagiaan sendiri dikorbankan utk oranglain, itu pasti bukan sbuah tujuan hidup. kecuali, jika itu adlh kedua orangtua-mu.

aku tidak sedang menunggu keajaiban. mengemis dengan derai seperti hujan deras. untuk apa jika bukan danau ditengah ladang gersang?

duri telah mati suri, lembut seperti puisi. aku berada di dekatmu. berpulanglah bersama ribuan bintang menjelang pagi.

apa kau bisa kembali sebelum gelap?

Kau ini bagaimana?

kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana?
kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin plan

aku harus bagaimana?
aku kau suruh maju, aku mau maju kau serimpung kakiku
kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?
kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

aku harus bagaimana?
aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana?
kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

aku harus bagaimana?
aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

kau ini bagaimana?
kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana?
aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a'lam bissawab

kau ini bagaimana?
kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana?
aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana?
kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

aku harus bagaimana?
kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana?
aku bilang terserah kau, kau tidak mau
aku bilang terserah kita, kau tak suka
aku bilang terserah aku, kau memakiku

kau ini bagaimana?
atau aku harus bagaimana?

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...