Jam di pojok kanan bawah laptop kesayangan saya sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Semalaman tadi saya kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan lama — mencoba bernafas dan menikmati tiap-tiap tarikannya. Ya, saya dan malam punya keakraban yang unik. Ada semacam kedamaian sendiri diantara gelap, sepi, jalanan yang lengang dan rembulan yang seakan-akan sejengkal di kepala saya. Yang saya temui diantara pekat malam ini hanyalah mahasiswa-mahasiswa yang berombongan di rumah makan 24 jam, ya berhubung kandang gajah memang sedang musim ujian, para penjaja kenikmatan yang masih curi-curi diantara jam malam, pengemudi taksi dan pedagang pasar.
Ini tahun ke-enam saya di kandang gajah, mau tidak mau harus menjadi tahun terakhir. Memang menyebalkan ketika saya sedang dalam usaha membebaskan jiwa, saya dipaksa untuk patuh terhadap sistem. Saya bergulat sangat lama bahkan sampai detik ini untuk memutuskan apakah saya akan menuruti pembebasan di diri saya atau akhirnya takluk pada sistem yang berlaku. Kandang gajah memang universitas yang bergengsi, salah satu universitas dengan passing grade tinggi di Indonesia dan katanya salah satu yang terbaik untuk urusan sains dan teknik. Tapi ada kekosongan yang mulai menyerang ketika saya tingkat dua dan bergerak menuju titik ekstrimnya ketika saya tingkat tiga — kandang gajah perlahan telah melenyapkan kesenangan saya untuk belajar.
Saya tipikal pembelajar mandiri entah dari kapan. Waktu kecil dulu saya menyenangi ensiklopedia bergambar yang bercerita tentang bumi, luar angkasa dan sejarah. Ketika saya kelas 5 SD saya mulai belajar sendiri apa yang kelas 6 SD pelajari. Bukan karena balasan nilai atau juara yang dulu kerap saya dapat, motivasi saya dalam belajar hanyalah karena iseng dan penasaran. Saya tipe orang yang semakin dipaksa akan semakin malas dan nilai-nilai tinggi tak berarti apa-apa bagi saya.
Saya baru sadar, hal-hal semacam itulah yang disebut kasmaran belajar. Mirip ketika jaman-jaman kelas 2 SMA ketika saya mulai mengkonsumsi buku-buku soal SNMPTN, ada kesenangan menyenangkan menaklukan sesuatu yang belum saya ketahui. ada kegelisahan dan euforia yang khas ketika keingintahuan saya terpenuhi. Mirip ketika jatuh cinta, ketika bangun pagi yang ada di kepala saya adalah permasalahan yang belum saya dapatkan solusinya semalam tadi, ketika tidur saya tertidur dengan buku disebelah saya. Saya mempelajari apa yang ingin saya pelajari, saya bertanya, mencari jawabannya sendiri dan berdiskusi dengan orang-orang yang lebih tua yang bisa memosisikan saya secara egaliter dan tidak sebagai anak kecil sok tahu. Dan hal inilah yang hilang di kandang gajah.
Kami disini dikejar oleh jadwal-jadwal tertentu terhadap tugas-tugas, praktikum, presentasi dan ujian. Ya, yg konon ingin menjadi world class university ini sepertinya memang mengejar kualitas kompetensi. Terlebih lagi sistem pengelolaan kampus yg bergeser menjadi BHMN akhirnya membuat kandang gajah menendang mahasiswa secepatnya. Ya, sukses disini berarti lulus secepatnya dengan indeks prestasi yang memuaskan. Kami yang dikejar-kejar hal-hal semacam ini mungkin memang bisa mendapatkan kompetensi yang bagus, yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang tertera di berbagai perusahaan. Kandang gajah seperti perusahaan pencetak tenaga kerja saja :))
Tapi apakah belajar hanyalah sekedar untuk dapat kerja?
Apakah belajar hanyalah sekedar untuk mendapatkan indeks prestasi bagus hingga tak tertinggal dari kawan-kawan seangkatan?
Apakah belajar hanyalah sekedar menjawab dan mengetahui “kenapa” yang diajukan dosen-dosen di dalam ruang kelas?
Entah kenapa, universitas yang seharusnya mengajarkan pola pikir “apa” “kenapa” dan “bagaimana” ternyata tak berhasil menghadirkan keingintahuan bagi murid-muridnya. Ruang kelas terasa sebatas tembok dingin tempat pengajaran, bukan pendidikan berlangsung.
Ah, proses belajar mengajar seperti ini membosankan, membuat saya menjadi robot, bergabung bersama barisan pencari kerja untuk pada akhirnya bisa bertahan hidup. Kami yang ini tidak dididik untuk peka terhadap keadaan lingkungan, kejadian-kejadian terkini di masyarakat dan berpikir bagaimana pengetahuan kami diaplikasikan untuk kembali pada akarnya– pada kemanusiaan.
Ya, science dan engineering seharusnya tak bisa lepas dari akarnya– dari kejadian sehari-hari di masyarakat. Tapi bagaimana bisa para civitas academica yang berada di menara gading yang kakinya terlampau suci hingga tak sudi ia jejakkan ke tanah penuh lumpur bisa mensintesa antara kejadian dengan ilmunya sehingga peradaban berkembang?
Bagi saya pribadi, ada satu masalah utama yang saya rasakan di kampus ini sejak tahun ketiga yang tak dapat saya hiraukan. Ilmu saya mengajarkan “how” tapi bukan “why”. Dan darisinilah saya mendapatkan kasmaran lain, saya belajar filsafat, politik, sejarah dan sastra (ya, sastra yang selalu bisa menghidupkan jiwa) yang saya pelajari secara otodidak. Saya banyak membaca, berdiskusi dengan banyak orang, keluar dari ruang kelas, menemukan sisi dunia yang absurd yang tak tertera di literatur engineering atau dijelaskan di ruang kelas, tanpa sadar dalam 3 tahun ini saya lahap 100an buku diluar engineering untuk menjawab keingintahuan saya tersebut. Tapi bagi saya ada hal-hal yang lebih berharga yang tidak akan ditemui di buku apapun atau guru manapun. Pada akhirnya: buku-buku, guru-guru dan teman-teman hanya bisa mengajarkan metode, untuk mendapatkan makna, militansi dan ‘kenapa’ sesuatu hal harus diperjuangkan ada hal-hal yang harus dialami– maka dari itu saya travelling.
Ada satu hal yang menarik yang saya rasakan sangat berbeda ketika saya menemui kawan-kawan saya yang jadi pejuang kemanusiaan karena mengalami ketidakadilan dalam hidupnya dan anak-anak kandang gajah. Mata kawan-kawan saya itu ada nyawanya ketika mereka berbicara tentang pekerjaan mereka yang harus diselesaikan atau pejabat-pejabat korup sialan yang memakai kekuasaannya dengan jalan yang kotor. Sementara mata kawan-kawan kandang gajah saya adalah mata yang mati, yang lelah ketika bercerita tentang pekerjaannya, tentang design, tentang kalkulasi yang harus mereka selesaikan.
Dan bagi saya, pada akhirnya saya mendapatkan “kenapa” saya memang bukan di ruang kelas, tetapi diantara perbincangan saya dengan kuli pelabuhan, dengan korban kerusuhan tanjung priok, dengan ekspat australia yang menjadi seorang maritime archeolog dan rekonstruksi relief di borrobudur, dengan orang tua dari makassar yang diumur belasan dulu telah berlayar dengan cadik hingga singapur, dengan seorang sarjana geologi yang keluar dari perusahaan besar dan mengabdikan dirinya untuk teknologi tepat guna di daerah tertinggal, dengan ahli kapal dari belanda yang mengabdikan dirinya mendokumentasikan 200 kapal di Indonesia, dengan melihat bangunan-bangunan bergaya cina sisa zaman perdagangan VOC dulu, dengan mendengar langsung cerita-cerita kenapa Pram membuat Arus Balik, dengan terombang-ambing di kapal kecil di laut lepas sementara langit badai bergejolak di sekitar, dengan berdiskusi dengan kakek tua yang seumur hidupnya tak pernah kegunung hanya dipantai saja, menjadi nelayan sementara tak satupun anak dan cucunya ingin menjadi nelayan, dengan bermalam di pantai kecil tanpa listrik dan kutukan bapak-bapak nelayan atas harga solar yang semakin mahal, dengan sebuah kampung di madura yang masih mempertahankan tradisi konstruksi kapal yang alami, dengan cerita langsung dari abang-abang yang memburu paus di NTT sana — dan tak satupun perasaan-perasaan yang saya dapatkan diantara perjalanan ini bisa saya dapatkan di ruang kelas.
Ya, 3 tahun, 100an buku, kekesalan terhadap sistem pendidikan di kampus gajah yang mengerdilkan makna pengetahuan dan kenekadan untuk “meninggalkan” ruang kelas hingga saya belum lulus di detik ini sementara kawan-kawan saya memulai karir dari dua tahun yang lalu– inilah hal yang harus bayar untuk “memuaskan” keingintahuan saya itu, hingga akhirnya saya bisa mendapatkan jawaban “kenapa” dan membentuk jembatan antara social problems di bidang saya dan scientific question yang pada akhirnya diajukan.
Tulisan ini saya buat diantara kewajiban-kewajiban akademik yang akhirnya saya punguti lagi, mungkin kali ini memang saya akan bersabar, tutup mulut dan tunduk pada sistem yang ada saja. ya, tak apa, yang penting saya sudah ketemu jawaban dan jalannya, bukankah tak ada yang benar-benar bisa kita menangkan dalam hidup?
Maka kepada kawan-kawan dan adik-adik — bertanyalah, lepaskan segala pencarian dan pertanyaan kita, keluarlah dari ruang kelas, lepaskan identitas prestige kandang gajah, kotorkanlah kakimu dengan lumpur-lumpur, tersesatlah, belajarlah dari yang pernah mengalami langsung, rendah hatilah karena belajar dan ilmu pengetahuan tak mengenal kasta, karena sesungguhnya yang paling mengetahui solusi dari permasalahan adalah orang-orang yang mengalami secara langsung. Harusnya seorang menteri ekonomi mengerti artinya lapar dan tidak memiliki uang membeli makanan, menteri kesehatan mengerti rasanya ketika sakit dan disekitarnya tak ada dokter atau perawat, dan presiden seharusnya mengalami (sekalipun dalam partisi terkecil) segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Keluarlah dari ruang kelas yang selalu didoktrin menjadi putra-putri terbaik bangsa, menjadi pemimpin masa depan bangsa. Keluarlah dan sadari, karakter dan militansi tak dapat ditempa di ruang-ruang kelas, tapi dari pengalaman pribadi, dari sebuah dendam melihat kesenjangan yang terjadi yang pada akhirnya menguatkan prinsip kebenaran ilmiah yang sempat dipupuk.
Dan kepada dosen-dosen yang saya sayangi — jadilah pendidik, bukan cuma pengajar. Ajarilah kami makna dan filosofi, bukan sekedar kompetensi. Pancinglah kami untuk bertanya dan resah atas apa yg terjadi di ilmu kami, bukan sekedar resah di pikiran, mulut dan kertas ujian, tapi resah dari dasar hati. Lebih dari itu, timbulkan keingintahuan dan kasmaran pengetahuan di diri kami– jangan matikan.
Bukankah dengan bertanya jiwa kita jadi bebas dan kita belajar benar-benar menjadi manusia? :)
Ah, sayapun harus menyelesaikan sistem yang ini, sekalipun sangat menyebalkan dan tidak membebaskan :))