Adakah orang yang pernah menyadari kehidupan saat mereka menempuhnya menit demi menit? – Kurt Vonnegut
Empat tahun yang lalu adalah kali pertama saya berkenalan dengan “Bukan Pasar Malam” — Pramoedya Ananta Toer. Saya sudah merasa Mbah Pram seperti Mbah saya sendiri, semacam substitusi dari Mbah Kakung saya yang telah lama tiada. Memang kadang manusia ini keterlaluan, seenaknya menggantikan satu orang dengan orang lain dalam hidupnya. Tapi mungkin itulah memang bentuk kelemahan kita yang sebenarnya tak pernah bisa benar-benar sendiri. Tapi siapa pula yang bisa menggantikan orang lain? Di hati saya setiap orang yang bermakna punya rekam jejaknya sendiri yang khas yang tak akan pernah bisa digantikan dengan yang lain. Demikianlah mungkin, posisi kita di dunia ini ditentukan, kita sebagai salah satu partisi dari kesetimbangan semesta, kita yang seharusnya tak memiliki apa-apa tapi ternyata malah merasakan semesta. Maka tak ada yang bisa menggantikan siapa-siapa.
Ada satu romantisme dan kedekatan sendiri yang terasa ketika pertama kali menelanjangi buku ini. Ya, sekali waktu kita berniat menelanjangi orang lain tapi ternyata malah kita yang ditelanjangi. Dan sampai kini saya masih ingat betul kata demi kata yang menelanjangi saya ketika itu : “Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” Saya yang waktu itu merasa seakan-akan menemukan sahabat lama saja.
Tiga hari yang lalu setelah senja seorang kawan menghampiri saya. Dia menanyakan hal yang sama yang pernah kamu tanyakan dulu — tentang makna hidup. Ada kehampaan yang mulai menghinggapinya katanya. Ah, kehampaan yang khas yang kurasa akan dialami semua manusia pada satu titik hidupnya. Bedanya hanyalah ada yang merasa cukup dengan merasakan hampa saja, ada yang mencari asal muasalnya, ada yang mengikat maknanya, dan ada pula orang seperti kita yang terlalu jauh berkawan dalam kehampaan itu. Karena semakin akrab kita dengannya, semakin pula tanpa sadar kita ikat diri kita kepadanya, semakin kita pahami bahwa kehampaan tak serta merta adalah sebuah kegelapan menjijikan yang harus dihindari dan tak dianggap ada– Kita orang-orang terkutuk yang dikoyak-koyak sepi yang menerimanya sebagai bagian dari cahaya.
Ya, hidup jika dilihat secara penuh memang menjijikkan. Terlebih lagi jika kita sudah terlalu sering bermain dengan diri dan hidup kita sendiri, kita bertualang tak memberi batas pada apapun juga. Perlahan-lahan segala bentuk kemungkinan menjadi semakin terbuka, termasuk kemungkinan-kemungkinan paling gelap sekaligus. Kita yang menjalani peran sebagai orang pertama, kedua dan ketiga sekaligus perlahan-lahan akan jijik dengan diri kita sendiri. Tapi itu cuma awal mula, kemudian kita jijik dengan orang-orang sekitar kita, dengan bumi yang penuh tipu-tipu dan kepura-puraan, dengan basa-basi biasa bagi tiap orang setiap detik hidupnya yang sebenarnya semu. Kita terbiasa berkubang dalam gelap sampai-sampai tak percaya bahwa kebaikan dan keikhlasan murni itu ada– tidak sampai kita kehilangan sesuatu dan sesuatu itu mnegajari kita dengan keras — kita menjadi monster, tak lagi percaya pada nilai-nilai murni dalam hidup manusia.
Ya, tak ada yang perlu ditakuti sebenarnya, kita lahir di dunia sendiri, pergipun akan sendiri. Dan seperti kata Vonnegut, “kelahiran dan kematian itu murni kebetulan saja”. Benar, dalam skala besar tak ada yang spesial dalam hidup kita. Usahamu untuk membuat dunia menjadi baik tidak akan berhasil sampai engkau mati, butuh waktu ribuan tahun untuk memperbaiki kehancuran ribuan tahun. Ya, kesia-siaan itu memang benar adanya.
Tapi minggu lalu aku benar-benar ke pasar malam. Pasar malam kecil-kecilan yang digagas kawan-kawanku. Aku bahkan memandangi langit di atas perahu kora-kora pada jam tiga pagi. Langit yang sama menyenangkannya, seakan-akan semua permasalahan dan kemunafikan kolong langit ini tenggelam didalamnya. Menenangkan. Tak ada mainan spesial disana, apalagi yang seperti kau lihat di Dunia Fantasi. Cuma ada beberapa mainan yang sudah mulai karatan dengan maintanance seadanya, dihias dengan lampu-lampu dan cat warna-warni agar lebih ceria. Terkadang terbersit pula di otakku kalau mainan-minan itu tak memenuhi standard keamanan minimal.
Dan benar, berbondong-bondong pula orang datang kesana, bersama sahabat, kekasih, istri, suami dan anak. Jarang benar aku melihat teteh-teteh disekitar sana sengaja memoleskan gincu merah merona murahan di bibirnya. Berbondong-bondong datang, berbondong-bondong pergi, diantara mainan-mainan murahan yang tak ada standard keselamatannya dan dentuman musik yang terdengar pecah ditelingaku. Tempat ini kacau. Tapi bukan berarti karena kekacauan diantara bau sampah yang menyengat dari tempat pembuangan sampah yang berjarak 10 meter dari tempat ini tak ada hal-hal yang bisa dinikmati.
Disinilah tempat orang-orang tersenyum lepas di tengah hingar bingar sekitar yang terjadi. Bocah-bocah kecil lari berkeliaran sambil tertawa dan sesekali menangis mungkin menikmati kebebasan mereka yang biasanya jam-jam segitu sudah dipaksa untuk tidur. Orang-orang renta tak peduli suhu Bandung yang semakin dingin, mereka duduk di tepi-tepi jalanan sempit, sekedar melihat-lihat keramaian yang ada sambil sesekali tersenyum. Orang-orang tak saling mengenal yang kebetulan sama-sama sendiri dan duduk bersebelahan bertukar obrolan ringan, ya memang basa-basi, tapi dengan keriangan yang berarti. Dan kesegala penjuru kupandan kudapatkan senyum lepas dari orang-orang yang kebanyakan belum kukenal.
Ya, demikian pula hidup yang kita jalani ini. Sekalipun semuanya sudah tertebak, sekalipun apa yg kita lakukan tak akan memberi arti banyak, sekalipun semua utopia akan berujung kegagalan karena tak ada yang bisa kita pastikan, sekalipun ada diri yang sudah terlalu sering disakiti manusia-manusia lainnya yang berubah menjadi binatang dalam menjalani hidup, sekalipun tak ada yang benar-benar nyata dan dunia ini dipenuhi selubung ilusi — bukan berarti tak ada yang bisa dinikmati, tetap sekali dua kali akan kita temukan senyum tulus tersungging di ujung bibir.
Maka, kalaupun kita mendapati hal-hal itu hanya sekali ataupun sesekali, ingatlah terus segala yang pernah akrab, senang dan tulus pada kita. Sekalipun hidup ini memang bukan pasar malam. Sekalipun di awal kita sendiri, di akhir kita sendiri dan diantaranya yang kita bisa benar-benar jamin dan miliki hanyalah diri kita sendiri.
Jika ini bukan bahagia, aku tak tahu lagi namanya.
Ya, hidup memang bukan pasar malam, tapi diantaranya selalu ada yang bisa membuat kita tersenyum — dikala aku menempuh kehidupan ini detik demi detik, menit demi menit, disanalah kujumpai hidup yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar