Selasa, 17 September 2024

    Ternyata kematian tidak mengerikan, sayangku. Apapula yang mengerikan dari sebuah kebebasan yang benar-benar tak berbatas? Bukan kebebasan semu seperti hidup yang kita jalani dulu. Akhirnya kupahami juga kenapa engkau senang menerawang memandangi lautan tak bertepi dan langit tak berbatas, sebab dalam ketakberbatasan itu tersimpan pula segala kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk benar-benar bebas dan lepas, selepas angan kita ketika kita pandangi langit malam gelap berbintang malam itu, sayang.


    Sekarang kupahami pula kenapa beberapa kematian diperingati oleh yang masih hidup. Hidup hanyalah satu iterasi yang telah ditinggalkan bagi yang mati, setelah itu ya selesai. Tak ada yang spesial. Aku mati, jantungku berhenti berdetak, aku menyatu bersama cacing-cacing dalam tanah, perlahan-lahan tubuhku akan terdegredasi, menyatu bersama ibu bumi. Mungkin aku akan menjadi unsur hara yang berguna. Puluhan tahun kedepan mungkin area perkuburan ini akan menjadi pekarangan sebuah rumah. Ya, engkau tahu sendiri bagaimana kebutuhan manusia terhadap lahan tempat tinggal di kota ini semakin  meningkatkan. Mungkin diatasku akan ditanam pohon pisang, atau jambu atau alpukat, maka ketiadaanku akant tetap berguna bagi semesta ini sekalipun aku tiada.

    Tapi ada orang-orang yang kematiannya diperingati oleh yang masih hidup. Sebab orang-orang hidup seringnya butuh alasan untuk hidup. Ya, aku ingat dulu engkau pernah berkata bahwa tujuan-tujuan hidup itu keterlaluan, hidup ya sesederhana bernafas saja, tak perlu menciptakan tujuan-tujuan utopis begitu. Tapi sayangku, aku tahu betul itu adalah reaksi kekecewaanmu atas realita. Yang paling membenci sesuatu sering kali pada satu titik sangat mencintai hal itu– kekecewaanmu adalah bentuk kecintaanmu juga, sayangku.

    Rasa-rasanya konsep dunia-akhirat itu terbalik, sayangku. Ya, aku tahu engkau tak lagi peduli pada surga-neraka, tapi bersabarlah sedikit mendengarkan penjelasanku, sayang. Memang tak mungkin rasanya kuminta ide-ide dan dialektika di pikiranmu itu berhenti, tapi di beberapa titik engkau harus belajar bersabar dan mendengarkan dulu, sayang. Jika surga dan neraka benar-benar ada, aku kini yakin surga dan neraka ada di dunia orang hidup, diciptakan oleh manusia sendiri.

    Surga-neraka di kitab pada beberapa titik hidupku hanyalah tipu-tipu yang diberikan pada manusia. Surga ala Islam, Kristen, Sorge ataupun Nirwana adalah tipu-tipu. Tuhan di kepalaku waktu itupun bisa jadi tipu-tipu juga. Manusia-manusia ini hidup dari pelarian satu ke pelarian lainnya, ada kalanya kita letih, ada kalanya kita tak mau menghadapi–apalagi menghidupi realita. Maka disana kita butuh sebuah jaminan, sebuah konsep tentang keindahan, sebuah kepastian bahwa semua akan berakhir bahagia, sebuah pengampunan dari rasa bersalah di dalam batin. Maka bukanlah Tuhan, surga-neraka adalah sebuah pelarian manusia dari kehidupan manusia juga? Seharusnya jika benar-benar ingin mendekap Tuhan, memahami surga-neraka, manusia-manusia ini menyingkirkan tiap ketakutannya dahulu, melepaskan kemelekatannya terhadap hidup– bahkan kepada Tuhan ataupun agama sekalipun. Tapi sepertinya cuma orang yang cukup gila seperti aku dan kamu, sayangku, yang melakukannya tanpa tendensi apa-apa. Orang-orang seperti kita telah sampai pada satu titik bahwa kita tak lagi memerlukan kepastian-kepastian.

    Aku tak pernah menyesali hidupku, sekacau dan sehancur apapun jalanan yang kulalui– sebab aku membuat pilihan-pilihanku sendiri. Kalaupun ada yang kusesali adalah ketika saat itu bibirmu tak sempat kukecup. Kita orang-orang bebas. Kita memiliki kesunyian masing-masing. Kita memiliki jalan masing-masing. Kita yang begitu berbeda sekaligus begitu serupa. Dan kitapun sama-sama berpendapat, sayang, ini tubuh tak ada yang boleh memiliki. Orang semacam kita tak butuh identitas tertentu, bahkan identitas untuk tidak dikenal sekalipun kita tak butuh. Bibirmu adalah milikmu, tak akan kuganggu. Lagipula ketika ada dorongan dari diriku untuk mengecup bibirmu, membelai rambutmu, memelukmu, bersandar pada bahumu, dorongan-dorongan itu tak akan kupercaya karena ketika mengenalmu aku sedang belajar mengendalikan diriku– lagipula saat itu aku tak percaya sesuatu yg disebut cinta.

    Tapi rupanya itu yang jadi salahku, sayangku. Diujung kematianku, bukan Tuhan, bukan dosa, bukan neraka, bukan masa depan dunia yang menghantui pikiranku. Adalah sepotong bibir dan sorot matamu waktu itu yang menghantuiku. Dan surga memang sebuah dugaan-dugaan dan harapan. Surgaku kini adalah sepotong bibirmu untuk kukecup, sedangkan nerakaku adalah ketiadaanmu. Bibirmu ternyata malah menggantikan keberadaan Tuhan, sayangku.

Ternyata sejak kutolak mengecup bibirmu aku tak lagi merasa hidup. Ada absensi dalam hidupku dan rupa-rupanya ini lebih mengerikan daripada kematian.

Ah, terkutuklah semua ego dan kebanggaanku untuk mengakuinya dulu.

Ah, kalau saja kukecup bibirmu waktu itu, tentulah kurasakan kembali hidup itu apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...