Sudah berjam-jam ia duduk di tempat itu, telah ia saksikan pula hiruk pikuk berpuluh-puluh orang di sekitarnya. Meja diujung sana telah berganti penghuni sebanyak lima kali, sementara ia tetap tak beranjak dari tempat duduknya sejak siang tadi. Ia menatap kosong jalan layang beserta entah puluhan bahkan ratusan kendaraan yang lalu lalang disana– orang-orang yang menyibukkan diri agar hidupnya bermakna, sekalipun makna yang dilekatkannya sangat artifisial dan penuh kepura-puraan. Ia memandang bermenit-menit ke jalanan, jika bosan ia memandang langit, melihat awan berarak dan langit bergerak, dari terang terik ke kelabu teduh, hingga tiba saatnya senja menjemput.
Selasa, 17 September 2024
Ia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu, mungkin menunggu senja, senja yang terlanjur dicintainya sekalipun ia mengaku belum memahami cinta itu apa. Tapi mungkin saja ada yang ditutupinya dengan kesenangannya memandang senja, entahlah. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu waktunya tidak didasari pergerakan matahari atau rembulan atau objek tertentu di langit. Beberapa bulan ini waktunya didasari berapa banyak pikirannya yang berlalu seiring batang demi batang rokok yang dihisapnya.
Orang-orang lalu lalang di belakangnya tak akan menganggapnya ada. Dia hanya noktah kecil diantara kerumunan dan pikuk dunia. Sekalipun warnanya berbeda dari sekitar, dia terlalu kecil untuk dianggap pengganggu yang bermasalah, sekalipun masih ia dengar cericit suara orang-orang jalang yang berbisik tentangnya. Ya, orang-orang jalang yang seakan-akan mengenalnya dan peduli, padahal yg tersisa dari mereka bukan fisik yg berada di sampingnya, tapi cericit suara suruhan-suruhan untuk ikut arus saja–agar ia tidak melawan, agar ia bergabung pada barisan kebanyakan.
Tiap hisapan di rokoknya perlahan-lahan menjadi satu ketukan detik yang baru, satu mekanisme pernafasan yang baru, sekalipun sahabat dekatnya selalu menakuti-nakutinya dengan kematian dia tak peduli– dia sudah tak takut pada kematian. Yang tak pernah memiliki apa-apa tak akan kehilangan apa-apa katanya.
Katanya ia menunggu senja, tapi ternyata ia ada disana sepanjang hari dan malam. Ketika mentari terbit ia berkata menunggu senja. Ketika rembulan muncul ia berkata masih meresapi sisa senja. Dan lagi-lagi ia terus bernafas dengan bantuan rokok, menenangkan syarafnya dengan bercaangkir-cangkir kopi hitam pekat sempurna kesukaannya, kopi yang telanjang, yang jujur, seperti hidup yang selalu diharapkannya. Ia menunggu. Tapi rupanya bukan senja yang ia tunggu.
Ia tak pernah menyukai keterikatan pada apapun. Ia selalu bisa sendiri dan tak butuh apapun. Manusia-manusia disekitarnya adalah palsu, tak akan bergerak jika tak ada keuntungan pribadi bagi dirinya sendiri. Ia dibesarkan dalam kegelapan, berkali kali ia memanjat dinding kegelapan untuk melihat cahaya, tapi rupanya cahaya terlalu menipu, semakin tinggi ia memanjat, semakin dekat cahaya tapi tembok kegelapan meninggi. Ia telah berjanji pada dirinya untuk tak berharap melihat cahaya lagi, biarlah ia terima kegelapan apa adanya. Ah, tapi ternyata itu rasionalisasinya belaka, ia cuma takut jadi silau dan hancur oleh cahaya yang belum pernah diterimanya dipeluknya dan dibiarkannya masuk ke dalam relung hatinya, merobohkan tembok-tembok yang bertahun-tahun dibuatnya.
Ia memang keras kepala, karena keras kepalalah yang membuatnya bertahan hidup sejauh ini, itulah bukti ia memiliki dirinya sendiri. Tapi keras kepalanya jugalah yang menyebabkan ia memilih tak melihat cahaya yang muncul dihadapannya berbulan-bulan yang lalu, yang menawarkan hangat, yang kepadanya dia bisa lepas. Dan hal itulah yang mengganggu pikirannya, yang membuatnya beralasan duduk disana menunggu senja, dia cuma sedng menunggu seseorang, orang yang sama seperti berbulan-bulan yang lalu, yang diabaikannya dan tak dapat disentuhnya secara langsung–dia terlalu pengecut. sampai sekarangpun masih pengecut.
Diam-diam dia rindu, dia butuh kehangatan dari emosi-emosi yang meluap di hatinya, yang telah lama disimpannya, yang bisa dibaca pembawa cahaya itu.Ya, kali ini dia merasa butuh pertemuan-pertemuan seperti sore itu, basa-basi menyenangkan dengannya, ketika ia akhirnya menangis di depan pembawa cahaya yang disangkalnya itu, yang mengingatkannya kembali tentang nikmat hidup, dan bahwa sakit bukanlah sebuah penjara, tapi yang menjadikan hidupnya hidup, yang membuatnya mengeluarkan yang dipenjarakannya dihatinya.
Dan penyaksiannya terhadap senja dari kala itu adalah bentuk isyarat cintanya yang keras kepala. Dia menunggu di tempat yang sama, berharap diantara senja pembawa cahaya itu akan datang lagi. Kali ini akan ia biarkan itu cahaya menyesap ke dalam relung hatinya, merobohkan semua temboknya, membuatnya sempurna.
Tapi ia takut telah terlanjur menularkan kegelapannya.
Ah, inipun rupanya isyarat cinta yang keras kepala juga.
– kali ini dia runtuhkan sendiri dirinya yang dibangun bertahun-tahun, dia butuh cahaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri
Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...
-
Ternyata kematian tidak mengerikan, sayangku. Apapula yang mengerikan dari sebuah kebebasan yang benar-benar tak berbatas? Bukan kebeba...
-
sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akan menjadikan obyek itu ekstensi dari eksistensinya sendiri. sesuatu yang mencintai suat...
-
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku. Begitu benarkah lamanya. Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa. Tingkap angin makin ungu dalam nest...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar