Selasa, 17 September 2024

Memento Mori

Memento Mori adalah sebuah frasa latin yang tidak sengaja saya temui beberapa hari yang lalu. Karena ingatan saya yang buruk, saya bahkan lupa saya melihat frasa ini di buku mana, ya kalau tidak The Hunger Games-Suzanne Collins mungkin  Zarathustra-Nietzsche, dua buku itulah yang mencuri perhatian saya belakangan ini. Memento Mori adalah sebuah frasa yang ‘bertugas’ mengingatkan kita kepada kematian. Secara harafiah, dia memliliki arti :  Ingat, Kau Harus Mati. Selain lewat frasa, memento mori  juga didapati dalam istilah seni. Aliran seni ini ditandai dengan patung-patung ataupun gambar yang pada dasarnya mengingatkan diri pada kematian, entah berupa tulang belulang, upacara pemakaman dan sejenisnya.


Yang menarik adalah, konon seorang Jenderal Roma (yang saya lupa namanya) amat sangat memegang teguh frasa ini. Ia bahkan memiliki seorang asisten yang hanya memiliki satu tugas. Tugas si asisten itu adalah untuk selalu mengingatkan Sang Jenderal, tidak peduli seberapa berjaya dia di hari ini, seberapa besar kemenangan yang dipetik oleh si jenderal hari ini, cepat atau lambat dia akan jatuh atau dijatuhkan. “Memento Mori!” begitulah sang asisten seakan-akan mengingatkan “Ingat, Kau Harus Mati” atau “Ingat, Kau Akan Mati” atau “Ingat, Kematianmu”

“Respice post te! Hominem te esse memento! Memento mori!“: “Look behind you! Remember that you are but a man! Remember that you’ll die!”–Tertullian dalam Apologeticus

Begitulah batasan antara keberadaan dan ketiadaan kita terasa begitu tipis. Lalu apa yang tersisa jika disatu titik tiada berarti ada dan ada berarti tiada? Ketiadaan bukan juga berarti hilangnya ruh dalam jasad seseorang. Ketiadaan juga berarti dibunuhnya sesuatu dari hidup kita tanpa sadar. Apa itu? ide! kenangan! dialektika pikiran kita dimasa lalu yang menjadikan kita sekarang! kebanyakan dari kita tidak pernah sadar bahwa perlahan-lahan ternyata kita ‘membunuh’ diri kita sendiri. Kita membunuh diri kita yang asli, ide-ide kecil yang menjadikan aku Aku. Kenangan dan rasa yang sederhana yang menjadikan kita manusia. Sebuah kewarasan yang harus diperhatikan untuk selalu ada.

Untuk itulah, Memento Mori  bagi saya sendiri, untuk menjadi pengingat saya di tahun-tahun ke depan, agar apapun yang terjadi, apapun jalan yang saya pilih, saya selalu bertahan dan tidak melupakan siapa saya sebenarnya. Agar saya yang di masa depan  tidak serta merta membunuh masa lalu. Agar saya menghargai hidup sebagai sebuah bentuk proses dan perjalanan. Agar saya selalu ingat bahwa saya adalah manusia yang terbentuk dari gerak kosmik sekian juta, ratusan bahkan milyaran tahun yang lalu. Saya adalah bentuk dialektika dan sebab-akibat semesta. Saya adalah yang menjadikannya hidup atau mati, yang menepis batasan dimensi ruang dan waktu

Dan hidup kita,kata seorang arif bijaksana,terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu.” — Goenawan Mohammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...