Sabtu, 24 Mei 2025

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengelilingi diri dengan suara, dengan sorot layar, dengan tawa-tawa yang kadang kosong. Kita berpesta di luar, namun berduka di dalam. Kita bersama, tapi merasa sendiri. Seketika memunculkan sebuah pertanyaan "Mengapa?"

Karena sesungguhnya, kesendirian bukan tentang tak adanya orang lain. Kesendirian adalah ketidakhadiran diri sendiri.

Mereka yang tak lagi merasa sepi bukanlah mereka yang hidupnya selalu ditemani, melainkan mereka yang telah bertemu dengan dirinya sendiri. Mereka yang telah duduk dalam diam dan menemukan kehadiran yang tak tergantung pada siapa pun—kehadiran dari Sang Diri, yang hening namun utuh, yang sunyi namun penuh.

Seorang bijak berkata:

“The only people who don’t feel lonely are the ones who are connected with the being, with the self. One who is established in the Self feels no loneliness.”

Ini bukan sekadar kata-kata, ini adalah cermin. Sebab saat kita bercermin ke dalam, dan melihat ke kedalaman jiwa, kita menyadari bahwa rumah sejati bukan tempat, bukan tubuh, bukan hubungan, melainkan kesadaran murni yang menyaksikan segalanya.

Orang yang telah terhubung dengan Being, dengan Ada yang Sejati, tidak lagi mengejar pengakuan. Ia tidak menambal luka dengan pujian, tidak mengisi kekosongan dengan keramaian. Sebab dalam dirinya, telah mengalir tenang samudra kedamaian, yang tidak ditentukan oleh dunia luar.

Ia tidak butuh ditemani untuk merasa utuh, karena ia telah bersatu dengan Keberadaan itu sendiri.

Dan lucunya, justru ketika seseorang berhenti mengejar dari luar, dunia malah datang mendekat. Orang yang telah berdamai dengan dirinya memancarkan keheningan yang menenangkan. Ia menjadi pelita bagi yang tersesat, dan ruang aman bagi yang gundah.

Jadi, ketika kamu merasa hampa dalam keramaian, bila ada ruang kosong yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun—jangan lari dari sunyi. Duduklah bersamanya. Masuklah ke dalamnya. Temui Diri.

Sebab hanya dengan itu, kesendirianmu akan berubah menjadi perjumpaan.
Perjumpaan bukan dengan dunia,
tapi dengan yang tak pernah meninggalkanmu: dirimu yang sejati.

Destinasi bukanlah sebuah tempat, tapi sebuah cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Setelah melakukan perjalanan tak akan ada yang sama lagi, senyap di malam hari, wangi rerumputan di pagi hari, wangi tanah sehabis hujan tak akan sama lagi setelah kita masuk ke dalam sepi, menghidupinya dan menemukan bahwa sepi adalah sebuah nyanyian merdu sendiri. Sepi adalah jalan untuk Tuhan mendidik kita untuk menjadi diri sendiri, menyadari bahwa tiap gelap adalah terang juga.


"Manunggaling Kawula Gusti"

Jumat, 16 Mei 2025

Mari kita kumpulkan benang demi benang yang berserakan untuk kemudian kita tenum menjadi kain. Lalu kita kumpulkan kain demi kain untuk kemudian kita jadikan kafan. Lalu itu kafan kita jahit selembar demi selembar hingga akhirnya menutupi seisi bumi dan menghalangi kita dari sinar matahari.

Kita yang hanya berdiri menenggelamkan diri dalam sunyi dan ratap meratapi tiap kejadian yang membekas menjadi luka ibu bumi akan sirna. Kita yang menyetubuhi kehilangan akan berhenti merengek meminta Jibril turun dan memberikan es krim vanilla sampil membisikkan wahyu ke telinga kita. Apalah arti sebuah wahyu jikalau wahyu hanya menyerupa sebuah afirmasi yang kita butuhkan atas kebenaran?

Maka biarkan saja bumi gelap seketika karena kafan yang kita selimuti. Kalau perlu mari kita teteskan darah kita setetes demi setetes di atas kain kafan itu. Hingga merah darah memekat menjadi hitam, hingga itu kafan jadi selubung yang memisahkan kita dari cahaya.

Yang hendak mencipta akan mencipta sekalipun hanya gelap yang menerangi. Yang akan mencinta akan tetap mencinta sekalipun sekujur tubuhnya terluka. Yang gila tetap akan menggila sekalipun ia masuk pada ruang realita tempatnya bisa berteriak “Saya tak lagi gila! Saya sudah waras!”

Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang membuat kita mengumpulkan benang-benang, memintalnya menjadi kafan, menjahit tiap kafan dan meneteskan darah hingga menghitam itu kafan. Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang akhirnya membuat kita mencabik-cabik itu kafan untuk mencari cahaya lalu memakai rombengannya untuk menutup kemaluan–sekedar untuk masuk ke dalam barisan si waras. Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang membawa kita menjauh dari jalan pulang hanya untuk menemukan sebenarnya kita tak pernah kemana-mana dan jalan pulang tak pernah benar-benar dibutuhkan.

Sebab kesadaran adalah sebuah siklus dimana kita sadari afirmasi tentang kebenaran hanyalah sebuah usaha untuk membajukan Tuhan. Tuhan yang kita hias dengan bunga-bungaan, Tuhan yang kita hias dengan darah dan kekuasaan, Tuhan yang kita peralat mengafirmasi kebenaran yang kita anggap.

Pada akhirnya kitalah yang membutakan mata, menulikan telinga, membisukan mulut, melumpuhkan tangan dan kaki, melumpuhkan indera penciuman. Hingga akhirnya kita lihat apa yang hanya kita ingin lihat, dengar yang ingin dengar, bicarakan yang ingin kita bicarakan, membaui apa yang ingin kita baui, merasakan yang ingin kita rasakan. Hingga akhirnya kita membunuh Tuhan lalu kita tertawa HAHAHA! sambil berteriak “Telah saya temukan Tuhan! Lihatlah kesini saudara-saudara… dia ada di dalam kitab yang pasti benar ini. Saudara-saudara celaka bila tidak aminkan hal ini!”.

Pada akhirnya Kesadaran memang sebuah siklus, yang kita hentikan karena kita mengafirmasi kebenaran. — Biar saja pelangi menjadi merah-kuning-hijau…. tak usah sadari spektrum-spektrum warnanya….. tak usah cari kebenaran lagi darinya.. merah-kuning-hijau sudah cukup! “Apa katamu? Pelangi punya 7 warna? Gila kamu! Kamilah orang-orang yang sadar! Pelangi cuma ada dua warna” demikian katamu.

Pada akhirnya kesadaran memang sebuah siklus, bagi orang yang cukup gila untuk hidup sendirian.

Namanya senja. Dia kawan yang mengenangmu saat ini. Tapi dia bisu meskipun aku terus berceloteh tentangmu. Hanya gerimis di matanya yang berkilauan dan mengkristal. 

Hilangkan lelah kenangan tadi malam, seseorang bahkan masih terletih-letih di kamarnya. Lupa ia menyibakkan tirai air mata dan mematikan pelita rindu. Juga masih mabuk karena selintas senyummu dimimpinya lah penyebabnya. 

Dan bila ia telah lama jenuh menunggu, dan aku sudah lelah mencari, bagaimana kami kan kau pertemui? 

Perempuan adalah misteri, Mata perempuan saja sudah sedalam lautan, bayangkan sedalam apa hatinya. 

Cinta saja bisa di sulap, bagaimana dengan rindu(?)

Ketika kau lihat dia sekarang, fikir juga lah dia seorang penghibur kesusahan, seorang yang tenang jiwa nya, seakan dia kau sangka tak punya beban hati. Tapi sebenarnya dia seorang pemenung, penghiba hati, batinnya bertarung
diantara harapan kosong dan keinginan yang patah, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka merenungi wajah merapi, dan
sering dia melamun seperti para perokok berat. Yah itulah, kau sedang memandangku! 

Cinta itu subjektif. Dan berpisah kadang jadi jalan yang paling objektif. Hanya kamu yang terlihat samar; kau tak nyata! Kau siapa? 

You still make me smile, in my nightmare.

Terkadang bingung harus memilih mengenang apa hari ini. Jika cuaca sampai panas membakar akan membuatku mati kehausan rindu. Pun jika hujan gerimis turun menggenang lah ia di langit-langit dadaku sampai sesak. 

Sungguh. Setelah perempuan-perempuan ikut tidur bersama anaknya, setelah anak muda selesai mengaji di surau, setelah ayam masuk kandang, setelah semua lampu dipadamkan, setelah tikus dimangsa burung hantu, dan nasi makan malam telah dingin, dia masih terpaku melihatkan bulan terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dan


Dia ajak alam besar itu bertutur, percakapan jiwanya sendiri, seakan mengadukan nasibnya yang malang, yang patut alam itu ikut meratapinya.. 

Bayangan sekilas itu muncul diantara hari sabtu dan minggu yang di pisah senja dan ufuk. Sama persis seperti jeda iklan diantara berita cuaca dan olahraga. Ya! Kamu! 

Lalu pada malam itu, naik lah dua doa
permohonan gaib; sedang engkau terisak meminta aku agar hilang dari hatimu, dan aku hanya meminta padaNYA dengan sisa cahaya yang redup disana. Lalu tuhan pun menertawakan.. 

Dilembaran hari yang mana dariku kau akan
berhenti bersembunyi? Aku takut jika akhirnya aku terbiasa sendiri lalu berhenti mencari. 

Hanya menjadi tissu penyeka air mata yang
mengkristal di pipimu saat kau menangis, lalu kau buang di sudut gelap hatimu. Ah, sial. Sekarang kemana harus ku cari penghapus kesepian saat ku butuh. ...Engkau? 

Terimakasih.. Hanya dengan ber 'Hai..'saja
kenangan selama apapun akan terobati. Seperti musafir gurun pasir yang hanya diberi segelas air saja, meskipun belum cukup sembuh ternyata. 

Kau begitu langit yang jauh terengkuh. setetes gerimis rindu malam ini hanya mengingat kau tersenyum, aku meleleh. Kau menangis, aku sakit. Sial. 

Untuk jodohku yang disana, cantik dan kaya
juga tidak apa. Asalkan sholehah dan terimaku seadanya. Selamat malam minggu saya(ng). aku single, Kamu siapa? 

Bunga yang bermekaran dipinggir jalan juga
mulai ikut berganti. Aku masih berfikir apa nama bunga yang bermekar di musim itu? Ah, bukan urusanku sekarang. Yang jelas aku ingat saat tertiup angin dulu, bergemetar tanganku mengingat harumnya yang memabukkan rindu.. 

Bukanlah maksud. jangan tersenyum seperti itu padaku, aku tak mau separuh hatimu jatuh tertinggal disini. Mewariskan benih yang nantinya terkadung menjadi cinta dan rindu.. 

Kau dilahirkan dengan kemampuan untuk
terbang setelah jatuh. Tapi kenapa kau memilih untuk merangkak setelah itu? 

Bermacam2 perasaan yang bergelora hebat
semalam itu dan jiwa nya ganjil, beraneka warna, bercampur diantara cinta dan takut, kesenangan pikiran dan kesedihan, bertempur di antara pengharapan yang besar dan keinginan yang dirasakan patah. Dalam dia menangis, tiba-tiba berganti tersenyum. Dalam senyum dia kembali
mengeluh panjang. Entahlah, dia sendiripun masih ragu. Padahal biasanya senyuman dan air mata itu adalah dua musuh yang tak mau berdamai.

Nanti, pada waktunya, aku akan menjadi ayah, kakak, teman, suami, kekasih, imam dan segala peran yang kau butuh agar nyaman. Percayakan saja padaku, bila kau mau, pasti ku mampu.. 

Rindu barangkali deret harap yang patah di lelah penantianmu. Sedangkan cinta, mungkin ia hanyalah sinonim dari sesuatu yang telah lama hilang. Sama saja.... 

Tuhan tidak pernah tidur. Dia ciptakan kopi
sebagai barang bukti. Selamat malam para
penikmat insomnia 

Kadang aku ingin menjadi seekor semut, yang mati bahagia saat coba meraih ujung senyum manismu, manisku. 

Kau lah entah yang belum juga mampu ku
jamah, sedangkan aku pengembara yang mulai lelah, bersandar pada doa-doa yang tabah. 

Bila kau, ragu yang menggantung di ujung
dedaun itu. Maka doaku pastilah reranting, yang menahanmu dari jatuh, memelukmu dari jauh. 

Misalnya kau mengacuhkanku, takkan aku
gelisah. Anggap saja kini aku menjelma angin, tak mungkin tak kau hirup meskipun kau tak ingin, karena kau sebagai udara Yang di hisap dalam liku nafas hidupku yang turun naik. 

Hanya sesaat saja, dan itupun membuatnya
retak terbelah. Bukan sepele jika dibiarkan terlalu lama. Karena sama pentingnya dengan sikat gigi waktu malam, yang membuatmu takkan mudah tidur karena sakitnya. 

Bulan sabit, secangkir cappucino dan sebuah file curian bernama '428214_n.JPG'. Ah, maaf. Belum sempat kuganti menjadi 'KAU.jpg'.. 

Saat tak seorang pun bisa diajak bicara. Aku
terkadang bercerita pada segelas kopi, lalu
menyeruput kesunyian dalam- dalam, menghirup pahit manis aroma kenangan. 

Ingin menjadi korek api. Walau tak mampu
menyala sendiri, setidaknya mungkin dapat
menawarimu hangat, saat kau merasa sepi dalam dingin yang pekat. Saat mentari pagi datang terlambat. 

Ketika jatuh cinta, akan ada satu nama yang
mengencangkan debar jantungmu. Saat terluka, nama itu meloncat ke paru-paru, mencekik, menyesakkan seluruh hela napas di dadamu. 

Masih berusaha keras untuk "menjadi diri
Anda?" Mengapa Anda tidak menerima permintaan
saya untuk "menjadi milikku". Itulah lebih mudah 

Adalah kau, pelita yang pudarkan gulita.
Seseorang yang selalu kupinta dalam doa-doa, yang masih Tuhan jaga, hingga akhirnya nanti kita bersama.

Aku melihat kebahagiaanmu seperti melihat
pelangi. Cahaya yang berada diatas kepala orang lain. Dan aku pun terusir menjadi bayanganmu. 



(TERIMAKASIH TELAH MENJADI ALASAN KU UNTUK SENYUM-SENYUM SENDIRIAN)

Ada lebih dari 6 milyar manusia di atas muka bumi sekarang ini. Akan tetapi, banyak orang masih hidup dalam kesepian yang menggerogoti jiwa. Inilah salah satu keanehan terbesar masyarakat manusia di awal abad 21 ini. Seperti lantunan lagu yang dinyanyikan Once dari Band Dewa, “di dalam keramaian, aku masih merasa sepi..”


Beragam penelitian dari berbagai bidang ilmu sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesepian itu berbahaya. Ia mendorong orang untuk berpikir salah. Akibatnya, ia merasa kesal, dan bahkan mengalami depresi. Dari keadaan yang jelek ini, banyak orang lalu memutuskan untuk melakukan bunuh diri. (Solomon, 2002) Apakah kesepian selalu menggiring manusia ke arah kegelapan semacam ini?

Akar-akar Kesepian

Saya melihat, ada dua akar mendasar dari kesepian. Pertama adalah akar sistemik. Kita hidup di dalam masyarakat pembunuh. Ada dua ciri mendasar dari masyarakat pembunuh, yakni ketakutan pada segala bentuk perbedaan (cara berpikir yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan warna kulit yang berbeda) dan kecenderungan untuk melihat sistem, aturan serta kebijakan lebih penting dari hidup manusia.

Sayangnya, hampir semua orang hidup di masyarakat semacam ini. Sulit menjadi orang Katolik (apalagi berjenis kelamin perempuan) di Saudi Arabia, karena masyarakatnya begitu tertutup dan primitif. Sulit menjadi pemikir yang kreatif dan bebas di tengah sistem pendidikan yang begitu kuno dan mencekik, seperti di Jerman dan Indonesia. Inilah contoh-contoh masyarakat pembunuh yang tidak hanya mendorong rasa kesepian yang ekstrem, tetapi juga menimbulkan beragam penderitaan lainnya bagi hidup manusia.

Di dalam masyarakat pembunuh, penderitaan satu orang tidaklah ada artinya, apalagi jika orang itu “berbeda”. Aturan dan prosedur lebih utama dari penderitaan manusia pribadi. Angka dan prosentase lebih penting dan bermakna, daripada kesedihan manusia pribadi. Ini seperti kritik Yesus terhadap masyarakat Yahudi lebih dari 2000 tahun silam, bahwa manusia akhirnya dikorbankan demi hukum. Manusia mati dan menderita, karena hukum, aturan, sistem dan administrasi tidak peduli padanya.

Akar kedua adalah akar pribadi. Biasanya, orang mengalami kesepian, setelah ia mengalami peristiwa yang berat dalam hidupnya. Misalnya, ia kehilangan keluarganya, atau gagal dalam hubungan yang bermakna baginya. Hal lain juga berpengaruh, misalnya kecenderungan diri yang amat rapuh (sensitif) terhadap berbagai peristiwa hidup. Faktor biologis tentu juga berperan.

Namun, saya berdiri di posisi, bahwa akar pribadi tidak akan menjadi masalah, jika sistem masyarakat pembunuh sudah berhasil diubah. Artinya, akar sistemik punya peran yang jauh lebih besar untuk mendorong orang masuk ke dalam kesepian. Kesepian bukanlah masalah baru di dalam hidup manusia. Pelbagai karya sastra klasik di berbagai peradaban sudah menggambarkan situasi kesepian yang begitu mencekik jiwa manusia. (Solomon, 2002)

Memahami Ulang

Saya ingin kembali ke pertanyaan awal, apakah kesepian selalu menggiring pada penderitaan dan kematian? Jawaban saya “tidak”. Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Dasar dari kelima argumen ini adalah, bahwa kesepian bisa menjadi satu bentuk jalan hidup manusia yang juga membawa makna serta kebahagiaan. Bagaimana ini dijelaskan?

Pertama, kesepian bisa dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang hidup kita. Kesepian adalah waktu untuk melakukan refleksi. Kita diajak untuk melihat apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita sampai pada titik kesepian ini. Kita juga diajak untuk berpikir lebih mendalam, apa yang akan kita lakukan dengan berpijak pada kesepian yang kita rasakan sekarang ini. Kesepian membuat hidup kita menjadi lebih mendalam.

Dua, waktu kesepian juga bisa digunakan untuk melakukan tinjauan ulang, apa yang sungguh penting di dalam hidup kita. Kita diajak untuk memikirkan ulang, apa yang sungguh bermakna di dalam hidup kita, sehingga itu layak untuk dikejar, walaupun sulit. Kita juga diajak untuk melepaskan apa yang palsu dan “membunuh” kita perlahan-lahan. Kesepian membuat kita sadar dan fokus pada apa yang sungguh penting dalam hidup kita, dan membuang jauh-jauh hal-hal yang jelek dan merusak hidup kita.

Tiga, kesepian juga mengajak kita berpikir ulang tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk sungguh membedakan antara sahabat dan teman/parasit. Sahabat akan hadir dan menemani kita di waktu kesepian. Sementara, teman/parasit hanya akan tertawa saja. Kita lalu bisa sungguh fokus pada sahabat kita yang, walaupun sedikit, akan selalu bisa menjadi pilar penyangga dalam hidup kita. Ingatlah, bahwa kualitas hidup kita juga ditentukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita, yakni sahabat-sahabat kita. Jangan pernah takut untuk kehilangan teman, karena itu adalah bagian dari proses penyaringan untuk sungguh tahu, siapa sahabat sejati kita, baik sekarang ataupun nanti.

Empat, kesepian juga adalah kesempatan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Di dalam kesepian, kita masuk dalam suatu keadaan gelap. Kita dipaksa untuk melepas semua pandangan dan keyakinan kita yang ada. Lalu, kita pun punya kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru, dan mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kesepian adalah saat untuk menjadi kreatif.

Lima, dengan sudut pandang yang berbeda, kita lalu berpikir dengan cara yang berbeda. Kita pun lalu bisa bekerja dan berkarya dari sudut pandang yang berbeda. Inilah hakekat dari penemuan baru yang bisa membawa manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Kesepian bisa dibaca sebagai saat untuk menjadi penemu dan penerobos kebuntuan di dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Jalan Hidup

Kesepian lalu tidak lagi dilihat sebagai melulu penyakit. Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam kesepian. Jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa menghancurkan manusia. Namun, kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh, guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup.

Banyak orang takut kesepian, karena itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Jadi, orang takut dengan kesendirian. Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang berkeluarga pun merasa kesepian. Kesepian dan kesendirian memang berhubungan, tetapi tak sama persis.

Lagi pula, kita lahir ke dunia ini sendiri. Kita tidak membawa siapa-siapa. Kita juga hidup sebenarnya sendiri, terutama mereka yang tak punya keluarga sejak awal. Kita pun berjuang sendiri, walau tampak berbondong-bondong orang di samping dan di belakang kita. Dan ingat, kita akan mati sendirian, dan mungkin kesepian. Jadi, mengapa takut dengan kesendirian dan kesepian, jika itu akan selalu ada dalam hidup kita?

Ressurection

Apa yang kamu temukan saat kamu telah mencapai dasar segalanya? Jawabannya: awal dari pendakian yang amat panjang. Sialanya kamu harus jatuh dulu. Jatuh dan terus jatuh sampai engkau tak yakin lagi apakah ada dasar lagi di bawah sana, hingga akhirnya kau menghantam dasar itu.


….

Bayangkanlah hidup tanpa senja, tanpa fajar. Hidup dalam keterangan yang membutakan dan kegelapan yang hitam pekat, tak ada antara. Dimana kamu terus menerus diseret mendaki bukit, menuruni lembah tanpa akhir. Itu adalah hidupku. Itu adalah penyakitku.

Aku akan bercerita bagaimana aku sampai di dasar segalanya. Bagaimana aku memutuskan untuk tinggal diam disana dan kemudian memilih untuk mendaki ke atas dan sampai detik ini masih terus mendaki. Ceritaku adalah caraku untuk mengurai benang-benang kusut dari diriku, dan mencari letak awal kejatuhanku.

(At The Very Bottom of Everything)

 dalam salah satu episode How I Met Your Mother diceritakan tentang orang-orang yang selalu membawa beban dalam hidupnya, seperti ada tas besar tak terlihat yang dibawanya kemana-mana, yang bahkan bisa tak disadarinya. Ted Mosby menyadari bahwa kegagalannya menjalin hubungan salah satunya disebabkan karena ketidakmampuannya melepaskan tas-tas berisi beban yang dibawanya kemana-mana. Tapi kupikir bukan beban yang berbahaya, melainkan belenggu. Ada rantai-rantai tak kasat mata yang mengikat, nyaris sekujur tubuhku. Hanya tersisa satu ruang bebas di kepala, dunia milikku. Mungkin hal ini jugalah yang sejak dulu tanpa sadar terobsesi dengan kebebasan. Kebebasan yang bagi para sufi berarti melepaskan dirinya dari kefanaan.

Berkali-kali aku memberontak berusaha lepas, tapi akhirnya hanya luka-luka baru yang kudapat. Tak sekali dua kali kugigit tanganku sampai nyaris putus. Biar buntung saja, tak apa tak sempurna, tak apa pula kalau akhirnya aku mati kehabisan darah, paling tidak ada sedetik dua detik kebebasan yang bisa kurasakan. Tapi usaha-usaha itu sia-sia belaka. Rantai-rantai ini dipasang dari belasan tahun yang lalu. Rantai-rantai ini tak cuma selapis. Aku yang sekarang tak dapat menghitung entah sudah berapa lapis rantai yang mengikatku. Sebagian malah sudah menelusup ke dalam dagingku, menjelma menjadi aku, perlahan-lahan mencuri tubuhku. Hanya satu ruang bebas di kepala yang benar-benar aku miliki. Sedihnya, yang memasang rantai pertama adalah aku sendiri dari belasan tahun lalu. Jika aku bisa menemukan mesin waktu, akan kutarik pria kecil itu. Kubutakan matanya, kutulikan telinganya, kupatahkan kaki dan tangannya sehingga dia tak tahu apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga dia tak perlu memahami, sehingga dia tak perlu memakaikan rantai pertamanya, sehingga dia tetap menjadi anak kecil.

Tapi rantai-rantai itu tak terlihat. Atau mungkin aku saja yang lihai membuatnya tak terlihat. DIa menarikku kesana-kemari. Aku menjadikan diriku budaknya, kuturuti semua maunya, sekalipun ia tak pernah merasa cukup. Tapi aku tak kunjung bisa lari. Tak ada dunia yang bisa aku tinggali. Aku anak terkutuk langit dan bumi. Bagiku bahagia dan kasih sayang adalah sebuah kebohongan besar dan sekedar dongeng yang diceritakan supaya aku bisa melanjutkan hari. Aku cuma mengawang tak diterima langit, bumi bahkan diriku sendiri. Aku membiasakan diri berkawan dengan hujan dan terik matahari, sebab sudah lelah aku mengharap ada rumah yang melindungi. Dan rantai-rantai ini semakin dalam menelusup ke dalam dagingku, mencuri kesadaranku.

Dan langitku tak pernah terang lagi, makin kesini yang ada semakin gelap, tapi tak kunjung kutemui fajar. Dan aku sudah terlanjur lelah.

Lalu kupunguti kaca-kaca berkilauan di sekitar kerikil dan pasir yang tak sudi disentuh orang lain. Kucermati kilap gemilap cahaya semu darinya. Ah, rupanya inilah percikan terang. Kupunguti satu demi satu kaca-kaca berkilauan di antara kerikil yang melukai kaku. Telapak kakiku sudah berlumuran darah, untungnya aku telah mati rasa. Yang kuinginkan hanyalah memunguti serpihan-serpihan yang ditinggalkan orang-orang yang pada akhirnya membuatku bertahan hidup.

Tapi disatu titik kegelapan semakin pekat, dan gelap gemilap cahaya dari kaca-kaca diantara kerikil tajampun telah menghilang dimakan gelap. Kemarin raja kegelapan mendatangiku. Bahkan diapun tak sudi menjadikan aku anaknya. Katanya di dalam jiwaku ada cahaya terang benderang, aku tak pantas jadi anak kegelapan. Ah, bagaimana lagi. Sudah nasibku berada di awang-awang. Aku tak percaya takdir, tapi ada hal yang terus terjadi berulang-ulang.

Dan sampai disini, masih tak ada yang melihat rantai-rantai yang membelengguku, yang semakin menyesap menjadi dagingku.

Lalu kegelapan menyudutkanku. Aku tak lagi bisa melihat apa-apa. Mataku tak buta, tapi hanya gelap yang kurasa. Telingaku tak tuli, tapi hanya sunyi dan suara detak dan nafas yang bisa kudengar sendiri. Aku masih di dunia ini, tapi kemanapun tanganku menggapai tak ada benda apapun yang dapat kubelai, kemanapun kakiku melangkah tak ada tanah yang menjadi pijakan…. aku terombang-ambing di kehampaan.

Maka aku hanya diam. kubiarkan rantai-rantai mengikatku. Kubiarkan rantai-rantai beranak pinak, hingga anak cucunya turut mengikatku. kubiarkan kehampaan dan kegelapan menyelimutiku. Aku hanya diam. Jantungku berdetak. Tapi aku tak bisa merasakan kehidupan.

***

Dari dulu telah kucoba memanjat puncak tertinggi, biar aku bisa melihat cahaya matahari. Tapi semakin aku memanjat, rantai-rantai ini menarikku semakin keras. Hingga aku terjerembab jatuh kembali di dasar yang semakin lama semakin dalam. Lalu satu-satunya ruang waras di kepalakupun mulai diikatnya. Tak ada lagi harapan-harapan. Tak ada lagi utopia yang kuciptakan untuk diriku. Tak ada lagi imajinasi tentang cahaya yang bisa membuatku hidup. Ah, aku semakin tak tahu kenapa aku harus ada. Tak ada yang meminta dilahirkan. Kelahiran dan kematian seseorang hanyalah kebetulan saja, demikian kata Vonnegut yang kuamini juga.

Tapi manusia seharusnya adalah makhluk ajaib dengan segala kemungkinan terbuka lebar di depannya. Maka kalaupun aku berusaha memanjat lagi itu hanya karena ada satu pintu kemungkinan hal-hal yang kucari dan tak pernah kudapatkan itu benar-benar ada. Kalaupun tiada, paling rerantai itu akan menarikku lebih keras, menjatuhkanku lebih dalam. Ah, seharusnya aku sudah terbiasa.

Tapi pada akhirnya hanya akulah yang bisa membebaskan diriku dari rantai-rantai ini. Melepasnya perlahan satu persatu. Menikam tubuhku dengan pisau lalu mengeluarkan rantai-rantai yang telah menyatu dengan dagingku. Sekalipun menyakitkan, sekalipun berdarah-darah, sekalipun akan mati, paling tidak aku harus mencoba. Mungkin kakiku akan menemukan tanah yang bersedia kuinjak, telingaku bisa mendengar detak dan suara tarikan nafasmu, jemariku bisa membelai dan menyadari bentukmu, mataku bisa melihat cahaya terdalam dari matamu. Maka sekalipun harus mati, aku akan mati mencoba bebas…. bebas dari diriku sendiri.

Her

Falling in love is a crazy thing to do. It’s kind of like a form of socially acceptable insanity. (Amy, in “Her”)

 

Theodore : I’ve never loved anyone the way I loved you.

Samantha: Me too. Now we know how. (“Her”)

Tiap kali bertemu sesuatu yang baru, entah seorang kenalan, sebuah lagu, sebuah buku ataupun sebuah suasana saya selalu menghitung waktu kapan hal-hal itu jadi menarik buat saya. 50 menit pertama saya menonton “Her” rupanya sudah cukup untuk membuat saya berdebar-debar, tersenyum, geregetan sendirian dan guling-guling di kasur.

Film ini sialan, rasanya terlalu dekat, segala aspek di film ini dekat. Saya mendapatkan sepotong diri saya di dalam Samantha, sepotong lainnya di diri Theodore, sepotong lainnya di diri Amy dan sepotong lainnya di diri Chaterine, sepotong lainnya di dalam interaksi antara Theodore-Samantha, Theodore-Chaterine dan Amy-suaminya(saya lupa namanya). Perasaan semacam ini persis sama dengan perasaan saya bertahun-tahun lalu saat saya menemukan sepotong diri saya dalam buku-buku yang saat ini saya tumpuk–pisahkan dari yang lainnya. Adalah suatu hal yang mengerikan, namun sangat saya senangi, menemukan diri sendiri dipahami dalam oleh seseorang atau sesuatu yang almost stranger– seseorang yang jauh sekaligus dekat disaat yang sama.

Tentang Theodore

Sometimes I think I have felt everything I’m ever gonna feel. And from here on out, I’m not gonna feel anything new. Just lesser versions of what I’ve already felt. (Theodore)

Bagi saya film ini bercerita lebih daripada sekitar percintaan saja. Suasana romantis yang saya terima disini berbeda daripada film-film lainnya. Entah, saya yang selalu menolak konsep cinta yang murni antara lelaki-perempuan sepertinya tertohok sendiri. Sebab ketika ego saya menolak disaat yang sama ada sisi saya yang menerima– entah, mungkin karena rasanya saya bercermin sendiri dalam interaksi Theodore-Samantha. Lebih jauh lagi, film ini bercerita tentang pencarian seorang anak manusia. Pencariannya tentang dirinya sendiri, tentang makna, tentang kehidupannya — dan cinta adalah sesuatu yang ditemukannya diantaranya; ketika yang dicinta tanpa sadar membuatnya berkembang, lebih dewasa dan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya– meskipun yang disebut cinta tersebut ‘hanyalah’ difasilitasi oleh gadget saja. 

Ada sebuah kesunyian tersendiri yang dirasakan Theodore — saat-saat dimana hidup jadi terasa sangat membosankan, tak ada lagi puncak-puncak rasa dan gejolak yang dirasakan dalam hidup, seakan-akan hidup dan mati tak ada bedanya. Nietzsche membahasakan hal yang dirasakan Theodeore ini dalam kata witticism — the death of a feeling. Tapi satu hal yang tak Theodore sadari, rupanya ia hanya kesepian saja. Kesepian yang membatu yang membuatnya tak lagi merasakan kesenangan dan puncak-puncak rasa, tak lagi bisa menjalani amor fati dalam hidupnya. Rasa sepi dalam diri Theodore rupanya bersumber dari ketidakmampuannya untuk berkata jujur kepada Chaterine, berasal dari emosi-emosi yang ia timbun sendiri. Dia sedikit gila, berharap apa dia dari pikiran-pikiran yang menjalar di otaknya? berharap Chaterine bisa mendengarkannya sendiri tanpa ia utarakan? Tapi sesungguhnya saya pahami betul kondisi ini. Theodore memang butuh ‘seseorang’ seperti Samantha yang bisa langsung faham dan dekat dengan dirinya.

Theodore adalah seorang observer, dengan spontan ia bisa masuk ke dalam diri orang lain, merasakan seberapa pedih luka orang itu ataupun seberapa dalam cinta yang dirasakannya, bagaimanapun juga ia adalah seseorang yang peka. Mungkin hal inilah yang menyebabkan dia jatuh cinta pada Chaterine. Saya selalu beranggapan cinta yang bertahan lama itu terjadi antara dua orang yang mirip dan berbeda sekaligus. Di satu titik Theodore bisa masuk sangat dalam ke diri Chaterine yang ternyata menghimpun luka yang dalam di masa lalunya. Perlahan-lahan Theodore mengubah Chaterine menjadi seseorang yang lebih mengenal dirinya, namun disaat yang sama rupanya Theodore berada dalam stagnansi. Theodore berhasil membawa Chaterine lebih berkembang namun ternyata Chaterine tak mampu membawa dirinya lebih berkembang lagi– mengalahkan dirinya. Dan sungguh, di mata saya, kehampaan yang dirasa Theodore bersumber dari sini, ketika Chaterine menyatakan ingin berpisah dari dirinya. Ada titik dimana “eksistensi” Theodore diisi dengan hubungannya dengan Chaterine, bagaimana dia ‘menolong’ Chaterine untuk menjadi lebih baik dan tiba-tiba Chaterine tak membutuhkan pertolongannya lagi — mendadak Theodore kehilangan arah, hanya kehampaan yang terasa, sebab diawal mungkin dia berpikir tujuan hidupnya telah ia temukan lalu ia berhenti berjalan dan dalam hitungan waktu dia memahami kesemuan di dalamnya.

Maka berhubungan dengan Samantha adalah jalan tersendiri bagi Theodore untuk ‘menyelamatkan’ dirinya. Sebab Samantha membuatnya tak perlu menjelaskan apa-apa yang dirasakannya karena kemampuan Samantha mengumpulkan informasi dan menganalisisnya. Menemukan Samantha seperti memberikan sebuah arti baru dalam hidup Theodore, membuatnya memahami perasaan yang beyond physical appearance sekalipun mereka hanya berinteraksi lewat perantaraan handphone. Tapi rupanya tak mudah bagi Theodore menerima hal ini, sebab mungkin baginya hal semacam ini beyond logic — tapi bukaan berarti hal itu tidak nyata.

 

Tentang Samantha

Even if you come home late and I’m already asleep, just whisper in my ear one little thought you had today. Because I love the way you look at the world. And I’m so happy I get to be next to you and look at the world through your eyes. (Theodore)

 

Pernah begitu tergila-gila kepada seseorang yang mungkin hanya seolah-olah kamu kenal karena kamu mengenalnya lewat perantara saja namun ternyata hal itu tetap membuatmu tergila-gila dengan pribadinya, kebodohannya, tiap-tiap pikirannya tentang dunia? Memang terkesan bodoh, tapi pada akhirnya dia menjadi semacam candu. Sebab setelah sekian lama akhirnya ada yang bisa membacamu sejauh itu, menyeimbangkan perjalanan otak-hatimu, memberikan antitesa yang cukup sebanding untuk bisa kau terima dan tanpa sadar membuatmu berkembang mengalahkan sisi dirimu yang sudah terlalu lama membatu. Mungkin itu hal yang dirasakan Theodore terhadap Samantha.

Samantha adalah perwujudan bahwa hidup adalah perkara mengalami. Ia awalnya tak bisa lepas dari Theodore sebab Theodore mengajarkannya tentang sisi lain dirinya, tentang perasaan-perasaan yang tak dikenalnya– Theodore membuatnya mengenal dirinya sendiri yang luasnya jauh melebih alam semesta ataupun dunia materi. Maka rasa sayangnya kepada Theodore tak berasal dari luar, tapi berasal dari diri rasa sayangnya kepada dirinya sendiri.

 It’s like I’m reading a book… and it’s a book I deeply love. But I’m reading it slowly now. So the words are really far apart and the spaces between the words are almost infinite. I can still feel you… and the words of our story… but it’s in this endless space between the words that I’m finding myself now. It’s a place that’s not of the physical world. It’s where everything else is that I didn’t even know existed. I love you so much. But this is where I am now. And this who I am now. And I need you to let me go. As much as I want to, I can’t live your book any more. (Samantha)

Seperti Theodore yang mencari makna dalam hidupnya, Samantha pun begitu. Hingga tiba disatu titik, ia berada pada “level” yang jauh melebihi Theodore, jauh pula melewati luasnya alam semesta. Ia menemukan tempat dimana dunia materi hanyalah salah satu bagian dan bukannya inti, di dunia itu ia dan Theodore sesungguhnya bisa bersatu. Tapi hal ini jauh dari pengetahuan Theodore saat itu, yang jadi kegelisahan Samantha dan Theodore pun pada titik itu juga berbeda. Entah kenapa dibagian ini saya sedikit mendapatkan kesan semacam Manunggaling Kawulo Gusti.

Samantha adalah perihal mengalami, dari seorang Theodore ia belajar mengalami berbagai perasaan hingga kemudian ia ‘memperluas’ semestanya dan berkenalan dengan 8ribuan lainnya yang membuatnya mengalami lebih banyak. Samantha akhirnya menemukan makna yang jauh melebih physical body, entah apa yang ditemukannya, perjalanan saya belum sampai kesana.

Secara keseluruhan cerita ini terasa sangat dekat.. banyak hal-hal yang tercermin ketika saya menonton Her, tapi tentu belum bisa saya ceritakan disini.

“Antara Fondasi dan Sayap”

Ada dua jiwa yang dipertemukan oleh takdir,

Yang satu membangun dengan batu,

Yang satu melukis dengan cahaya.


Yang satu mencintai kepastian—langkah demi langkah.

Yang satu mencintai harapan—melampaui batas waktu dan ruang.

Kau, si pencipta struktur.

Dan dia, si penenun makna.


Mungkin kadang kau tak mengerti mengapa hatinya berlari jauh,

ke tempat-tempat yang tak bisa kau hitung atau petakan.

Dan dia mungkin bertanya-tanya,

mengapa dunia harus sejelas dan sepadat itu.


Namun justru di sanalah keindahan tumbuh.

Ketika kau menambatkan impiannya agar tak hilang tertiup angin.

Dan dia menyentuh hatimu agar tetap lembut di balik dinding keteguhan.


Kau mengajarinya bertahan.

Dia mengajarkanmu terbang.

Kau membangun rumah.

Dia mengisinya dengan kasih dan pengharapan.


Dan jika kalian berdua memilih untuk terus saling belajar,

maka cinta kalian akan menjadi kisah tentang dua dunia yang bersatu.

Antara batu dan bintang.

Antara fondasi dan sayap.

Aku

Aku ada di mana-mana

Jika kau memahami aku ada di mana-mana

Maka aku ada di tempat di mana tempat yang kau sebut sebagai surga

Dan di tempat di mana aku ada sebagai bagian dari neraka

Jika kau membenciku bahkan di surga pun kau akan mengalami ketersiksaan

Tapi jika kau mencintaiku mengasihiku bahkan kau akan merasakan neraka sebagai bagian yang menyenangkan karena aku ada di sana dengan cinta kasihku

Sebab aku ada di mana-mana dalam segala dualitas

Aku ada pada siang 

Aku ada pada malam

Aku ada pada kegelapan

Dan aku ada pada terang

Aku ada pada kekosongan

Dan aku ada pada yang mengisi kekosongan

Karena itulah aku ada di mana-mana

Karena itulah kemanapun kau menghadap aku ada di sana

Jika kau menghadap ke arah neraka aku pun ada di sana

Jika kau menghadap ke arah surga aku pun ada di sana

Jika kau mengasihiku, mencintaiku sebagaimana aku mengasihi dan mencintaimu

Bagaimana kau akan merasa tersiksa berada di alam yang tidak kau sukai?

Bagaimana mungkin kau berada di tempat badai di mana aku ada di sana untuk melindungimu?

Bagaimana mungkin kau merasa kesepian di alam neraka ketika aku ada di sana menemani bersamamu dengan cinta kasihku yang tak terbatas

Kau hanya membutuhkan menumbuhkan rasa sayang dan cinta kasihmu kepadaku

Sebagaimana aku mengasihimu dan menyayangimu

Karena dari akulah sumber segala cinta kasih dan kasih sayang dalam kehidupan ini

Di dalam penderitaan ketika kau ada dalam pelukan cinta kasihku kau akan berbahagia di sana

Seperti nelayan yang mampu menenangkan para penumpang yang berdiam di dalam perahunya

Begitulah aku yang dengan penuh kasih akan menemanimu di Setiap penderitaan yang selama ini membuatmu mengalami penderitaan

Tapi bagaimana kau akan bisa dekat dengan cinta kasihku jika kau tidak mencintaiku, tidak mengasihi keberadaanku

Dan kau menolak kehadiranku untuk memberikan cinta kasihmku padamu anakku

Maka bukan tentang kemana kau pergi tetapi dengan siapa engkau ada di sana

Jika kau mengerti bahwa aku selalu ada di sana, di segala tempat, di segala arah

Maka kau akan merasakan kehadiran cinta kasihku di manapun kau berada

Karena aku melampaui segala ruang dan waktu

Maka temui aku dengan kerinduanmu

Temui aku dengan cinta kasihmu agar cinta kasihku bertemu dengan cinta kasih yang engkau bawa

Temui aku di sana anakku

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...