Apa yang kamu temukan saat kamu telah mencapai dasar segalanya? Jawabannya: awal dari pendakian yang amat panjang. Sialanya kamu harus jatuh dulu. Jatuh dan terus jatuh sampai engkau tak yakin lagi apakah ada dasar lagi di bawah sana, hingga akhirnya kau menghantam dasar itu.
….
Bayangkanlah hidup tanpa senja, tanpa fajar. Hidup dalam keterangan yang membutakan dan kegelapan yang hitam pekat, tak ada antara. Dimana kamu terus menerus diseret mendaki bukit, menuruni lembah tanpa akhir. Itu adalah hidupku. Itu adalah penyakitku.
Aku akan bercerita bagaimana aku sampai di dasar segalanya. Bagaimana aku memutuskan untuk tinggal diam disana dan kemudian memilih untuk mendaki ke atas dan sampai detik ini masih terus mendaki. Ceritaku adalah caraku untuk mengurai benang-benang kusut dari diriku, dan mencari letak awal kejatuhanku.
(At The Very Bottom of Everything)
dalam salah satu episode How I Met Your Mother diceritakan tentang orang-orang yang selalu membawa beban dalam hidupnya, seperti ada tas besar tak terlihat yang dibawanya kemana-mana, yang bahkan bisa tak disadarinya. Ted Mosby menyadari bahwa kegagalannya menjalin hubungan salah satunya disebabkan karena ketidakmampuannya melepaskan tas-tas berisi beban yang dibawanya kemana-mana. Tapi kupikir bukan beban yang berbahaya, melainkan belenggu. Ada rantai-rantai tak kasat mata yang mengikat, nyaris sekujur tubuhku. Hanya tersisa satu ruang bebas di kepala, dunia milikku. Mungkin hal ini jugalah yang sejak dulu tanpa sadar terobsesi dengan kebebasan. Kebebasan yang bagi para sufi berarti melepaskan dirinya dari kefanaan.
Berkali-kali aku memberontak berusaha lepas, tapi akhirnya hanya luka-luka baru yang kudapat. Tak sekali dua kali kugigit tanganku sampai nyaris putus. Biar buntung saja, tak apa tak sempurna, tak apa pula kalau akhirnya aku mati kehabisan darah, paling tidak ada sedetik dua detik kebebasan yang bisa kurasakan. Tapi usaha-usaha itu sia-sia belaka. Rantai-rantai ini dipasang dari belasan tahun yang lalu. Rantai-rantai ini tak cuma selapis. Aku yang sekarang tak dapat menghitung entah sudah berapa lapis rantai yang mengikatku. Sebagian malah sudah menelusup ke dalam dagingku, menjelma menjadi aku, perlahan-lahan mencuri tubuhku. Hanya satu ruang bebas di kepala yang benar-benar aku miliki. Sedihnya, yang memasang rantai pertama adalah aku sendiri dari belasan tahun lalu. Jika aku bisa menemukan mesin waktu, akan kutarik pria kecil itu. Kubutakan matanya, kutulikan telinganya, kupatahkan kaki dan tangannya sehingga dia tak tahu apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga dia tak perlu memahami, sehingga dia tak perlu memakaikan rantai pertamanya, sehingga dia tetap menjadi anak kecil.
Tapi rantai-rantai itu tak terlihat. Atau mungkin aku saja yang lihai membuatnya tak terlihat. DIa menarikku kesana-kemari. Aku menjadikan diriku budaknya, kuturuti semua maunya, sekalipun ia tak pernah merasa cukup. Tapi aku tak kunjung bisa lari. Tak ada dunia yang bisa aku tinggali. Aku anak terkutuk langit dan bumi. Bagiku bahagia dan kasih sayang adalah sebuah kebohongan besar dan sekedar dongeng yang diceritakan supaya aku bisa melanjutkan hari. Aku cuma mengawang tak diterima langit, bumi bahkan diriku sendiri. Aku membiasakan diri berkawan dengan hujan dan terik matahari, sebab sudah lelah aku mengharap ada rumah yang melindungi. Dan rantai-rantai ini semakin dalam menelusup ke dalam dagingku, mencuri kesadaranku.
Dan langitku tak pernah terang lagi, makin kesini yang ada semakin gelap, tapi tak kunjung kutemui fajar. Dan aku sudah terlanjur lelah.
Lalu kupunguti kaca-kaca berkilauan di sekitar kerikil dan pasir yang tak sudi disentuh orang lain. Kucermati kilap gemilap cahaya semu darinya. Ah, rupanya inilah percikan terang. Kupunguti satu demi satu kaca-kaca berkilauan di antara kerikil yang melukai kaku. Telapak kakiku sudah berlumuran darah, untungnya aku telah mati rasa. Yang kuinginkan hanyalah memunguti serpihan-serpihan yang ditinggalkan orang-orang yang pada akhirnya membuatku bertahan hidup.
Tapi disatu titik kegelapan semakin pekat, dan gelap gemilap cahaya dari kaca-kaca diantara kerikil tajampun telah menghilang dimakan gelap. Kemarin raja kegelapan mendatangiku. Bahkan diapun tak sudi menjadikan aku anaknya. Katanya di dalam jiwaku ada cahaya terang benderang, aku tak pantas jadi anak kegelapan. Ah, bagaimana lagi. Sudah nasibku berada di awang-awang. Aku tak percaya takdir, tapi ada hal yang terus terjadi berulang-ulang.
Dan sampai disini, masih tak ada yang melihat rantai-rantai yang membelengguku, yang semakin menyesap menjadi dagingku.
Lalu kegelapan menyudutkanku. Aku tak lagi bisa melihat apa-apa. Mataku tak buta, tapi hanya gelap yang kurasa. Telingaku tak tuli, tapi hanya sunyi dan suara detak dan nafas yang bisa kudengar sendiri. Aku masih di dunia ini, tapi kemanapun tanganku menggapai tak ada benda apapun yang dapat kubelai, kemanapun kakiku melangkah tak ada tanah yang menjadi pijakan…. aku terombang-ambing di kehampaan.
Maka aku hanya diam. kubiarkan rantai-rantai mengikatku. Kubiarkan rantai-rantai beranak pinak, hingga anak cucunya turut mengikatku. kubiarkan kehampaan dan kegelapan menyelimutiku. Aku hanya diam. Jantungku berdetak. Tapi aku tak bisa merasakan kehidupan.
***
Dari dulu telah kucoba memanjat puncak tertinggi, biar aku bisa melihat cahaya matahari. Tapi semakin aku memanjat, rantai-rantai ini menarikku semakin keras. Hingga aku terjerembab jatuh kembali di dasar yang semakin lama semakin dalam. Lalu satu-satunya ruang waras di kepalakupun mulai diikatnya. Tak ada lagi harapan-harapan. Tak ada lagi utopia yang kuciptakan untuk diriku. Tak ada lagi imajinasi tentang cahaya yang bisa membuatku hidup. Ah, aku semakin tak tahu kenapa aku harus ada. Tak ada yang meminta dilahirkan. Kelahiran dan kematian seseorang hanyalah kebetulan saja, demikian kata Vonnegut yang kuamini juga.
Tapi manusia seharusnya adalah makhluk ajaib dengan segala kemungkinan terbuka lebar di depannya. Maka kalaupun aku berusaha memanjat lagi itu hanya karena ada satu pintu kemungkinan hal-hal yang kucari dan tak pernah kudapatkan itu benar-benar ada. Kalaupun tiada, paling rerantai itu akan menarikku lebih keras, menjatuhkanku lebih dalam. Ah, seharusnya aku sudah terbiasa.
Tapi pada akhirnya hanya akulah yang bisa membebaskan diriku dari rantai-rantai ini. Melepasnya perlahan satu persatu. Menikam tubuhku dengan pisau lalu mengeluarkan rantai-rantai yang telah menyatu dengan dagingku. Sekalipun menyakitkan, sekalipun berdarah-darah, sekalipun akan mati, paling tidak aku harus mencoba. Mungkin kakiku akan menemukan tanah yang bersedia kuinjak, telingaku bisa mendengar detak dan suara tarikan nafasmu, jemariku bisa membelai dan menyadari bentukmu, mataku bisa melihat cahaya terdalam dari matamu. Maka sekalipun harus mati, aku akan mati mencoba bebas…. bebas dari diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar