Jumat, 16 Mei 2025

Mari kita kumpulkan benang demi benang yang berserakan untuk kemudian kita tenum menjadi kain. Lalu kita kumpulkan kain demi kain untuk kemudian kita jadikan kafan. Lalu itu kafan kita jahit selembar demi selembar hingga akhirnya menutupi seisi bumi dan menghalangi kita dari sinar matahari.

Kita yang hanya berdiri menenggelamkan diri dalam sunyi dan ratap meratapi tiap kejadian yang membekas menjadi luka ibu bumi akan sirna. Kita yang menyetubuhi kehilangan akan berhenti merengek meminta Jibril turun dan memberikan es krim vanilla sampil membisikkan wahyu ke telinga kita. Apalah arti sebuah wahyu jikalau wahyu hanya menyerupa sebuah afirmasi yang kita butuhkan atas kebenaran?

Maka biarkan saja bumi gelap seketika karena kafan yang kita selimuti. Kalau perlu mari kita teteskan darah kita setetes demi setetes di atas kain kafan itu. Hingga merah darah memekat menjadi hitam, hingga itu kafan jadi selubung yang memisahkan kita dari cahaya.

Yang hendak mencipta akan mencipta sekalipun hanya gelap yang menerangi. Yang akan mencinta akan tetap mencinta sekalipun sekujur tubuhnya terluka. Yang gila tetap akan menggila sekalipun ia masuk pada ruang realita tempatnya bisa berteriak “Saya tak lagi gila! Saya sudah waras!”

Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang membuat kita mengumpulkan benang-benang, memintalnya menjadi kafan, menjahit tiap kafan dan meneteskan darah hingga menghitam itu kafan. Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang akhirnya membuat kita mencabik-cabik itu kafan untuk mencari cahaya lalu memakai rombengannya untuk menutup kemaluan–sekedar untuk masuk ke dalam barisan si waras. Sebab kesadaran adalah sebuah siklus yang membawa kita menjauh dari jalan pulang hanya untuk menemukan sebenarnya kita tak pernah kemana-mana dan jalan pulang tak pernah benar-benar dibutuhkan.

Sebab kesadaran adalah sebuah siklus dimana kita sadari afirmasi tentang kebenaran hanyalah sebuah usaha untuk membajukan Tuhan. Tuhan yang kita hias dengan bunga-bungaan, Tuhan yang kita hias dengan darah dan kekuasaan, Tuhan yang kita peralat mengafirmasi kebenaran yang kita anggap.

Pada akhirnya kitalah yang membutakan mata, menulikan telinga, membisukan mulut, melumpuhkan tangan dan kaki, melumpuhkan indera penciuman. Hingga akhirnya kita lihat apa yang hanya kita ingin lihat, dengar yang ingin dengar, bicarakan yang ingin kita bicarakan, membaui apa yang ingin kita baui, merasakan yang ingin kita rasakan. Hingga akhirnya kita membunuh Tuhan lalu kita tertawa HAHAHA! sambil berteriak “Telah saya temukan Tuhan! Lihatlah kesini saudara-saudara… dia ada di dalam kitab yang pasti benar ini. Saudara-saudara celaka bila tidak aminkan hal ini!”.

Pada akhirnya Kesadaran memang sebuah siklus, yang kita hentikan karena kita mengafirmasi kebenaran. — Biar saja pelangi menjadi merah-kuning-hijau…. tak usah sadari spektrum-spektrum warnanya….. tak usah cari kebenaran lagi darinya.. merah-kuning-hijau sudah cukup! “Apa katamu? Pelangi punya 7 warna? Gila kamu! Kamilah orang-orang yang sadar! Pelangi cuma ada dua warna” demikian katamu.

Pada akhirnya kesadaran memang sebuah siklus, bagi orang yang cukup gila untuk hidup sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...