Kasih yang Tidak Memilih

    Dalam perjalanan batinku, ada satu kesadaran yang terus menekan: aku sering memandang iman sebagai proyek pengembangan rasa. Aku menilai kedekatan spiritualku melalui apa yang aku rasakan terhadap Tuhan, melalui hangatnya dada saat berdoa, melalui air mata yang jatuh saat menyembah, melalui gejolak syukur yang muncul tanpa sebab. Tidak salah, tetapi ternyata dangkal. Aku terlalu sibuk mengamati gelombang emosi yang naik turun dalam diriku, sampai lupa bahwa kasih yang paling sejati justru diuji bukan oleh apa yang kurasakan tentang Tuhan, tetapi oleh cara aku memperlakukan manusia yang paling sulit kukasihi. Ada paradoks besar di sini: semakin aku mengejar pengalaman rohani yang indah, semakin aku terancam kehilangan inti dari kekristenan itu sendiri.

    Itu terlihat dalam sebuah adegan purba yang unik: seorang Guru, pribadi yang menjungkirbalikkan tatanan dunia, bangkit dari tempat-Nya, merendahkan diri, dan melakukan sesuatu yang bahkan para murid-Nya pun tidak paham. Ia menanggalkan tanda kehormatan-Nya, mengambil kain, dan membasuh kaki-kaki manusia lain. Yang lebih mengejutkan, Ia membasuh kaki seseorang yang sedang menyimpan niat untuk menusukkan belati pengkhianatan. Tindakan itu memuat kedalaman yang tidak bisa ditangkap oleh kata-kata biasa. Di balik kerendahan hati itu bersembunyi suatu kebenaran yang mengguncang: bahwa kasih sejati tidak pernah menunggu orang berubah. Kasih sejati tidak menuntut syarat. Kasih sejati merendahkan diri meski tahu balasannya adalah kehancuran.

    Dari sanalah aku mulai mengerti bahwa kata memberkati, dalam akar maknanya yang paling tua, tidak sekadar berarti mengucapkan hal-hal baik. Memberkati berarti merendahkan diri, berlutut, melayani, menempatkan diri di posisi rendah demi meninggikan orang lain. Dan ketika aku melihat sosok Guru itu berlutut di hadapan seorang sahabat yang akan menjual-Nya, aku melihat bentuk berkat yang paling radikal. Ia memberkati dengan cara yang mengosongkan diri. Ia tidak sekadar memberikan kata-kata lembut, tetapi menempatkan tubuh-Nya di posisi yang paling rendah, seolah hendak berkata: “Beginilah berkat bekerja, melalui kerendahan, bukan kekuasaan; melalui pelayanan, bukan dominasi.”

    Pertanyaannya kemudian berbalik kepada diriku dengan tekanan yang sulit kutolak: apakah aku bersedia melakukan hal yang sama kepada Yudas dalam hidupku? Bukan Yudas dalam teks kuno, tetapi Yudas yang hidup dengan wajah kontemporer: orang yang pernah menyakitiku, orang yang bertindak di belakangku, orang yang meremehkanku, orang yang membuatku merasa tidak dihargai, orang yang memanfaatkan kebaikanku, orang yang mematahkan kepercayaanku. Dunia modern punya banyak istilah untuk mereka: manipulatif, toxic, beracun. Tetapi apa pun istilahnya, Yudas adalah figur yang lebih mudah kujauhi daripada kuampuni, lebih mudah kubenci daripada kusembuhkan kebenciannya, lebih mudah kubalas daripada kuberkati.

    Tetapi mengasihi Yudas sama sekali tidak berarti membiarkan diri diinjak. Itu bukan kelembutan bodoh. Itu bukan kepolosan yang tidak sehat. Justru sebaliknya, mengasihi Yudas adalah salah satu bentuk kedewasaan batin paling kuat. Ini tidak berbicara tentang kedekatan, tetapi tentang keberanian untuk tidak dikuasai dendam. Tentang kemampuan untuk menatap seseorang tanpa membiarkan pertumbuhanku sedikit pun ditentukan oleh perlakuannya. Tentang kehendak untuk tetap menjadi manusia, ketika keadaan memaksaku untuk menjadi sebaliknya.

    Sebab aku mulai menyadari, jika aku membiarkan kebencian menentukan responku, maka aku menjadi bayangan dari Yudas itu sendiri. Dan secara diam-diam, sebagian dari diriku memang mengandung sisi Yudas itu. Ada momen ketika aku mengkhianati kasih yang kuterima; ketika aku memilih jalan pintas daripada kesetiaan; ketika aku menukar integritas demi rasa aman atau kenyamanan. Yudas bukan hanya "dia"; Yudas juga adalah "aku". Dan justru karena itu, membenci Yudas berarti membenci bayangan diriku sendiri. Mengasihi Yudas berarti mengakui kerapuhan yang sama ada dalam jiwaku, suatu pengakuan yang tidak nyaman, namun perlu.

    Jika aku mengatakan bahwa aku mencintai Tuhan, tetapi hatiku memelihara kebencian, sebenarnya aku sedang membohongi diriku sendiri. Sebab kasih kepada Tuhan bukan melayang naik ke langit; kasih kepada Tuhan justru turun ke tanah. Lebih tepatnya, turun ke lantai tempat kaki-kaki manusia kotor sedang menunggu untuk dibasuh. Kasih kepada Tuhan bukan tentang kemegahan perasaan, tetapi tentang tindakan kecil yang hanya mungkin dilakukan jika aku bersedia merendahkan ego. Kasih kepada Tuhan bukan tentang kalimat-kalimat rohani, tetapi tentang pilihan untuk tidak membalas meski aku bisa; pilihan untuk tetap lembut meski aku disakiti; pilihan untuk memberkati meski aku punya alasan untuk mengutuki.

    Dan di titik inilah aku benar-benar mengerti: spiritualitas tidak memuncak ketika aku merasa terangkat ke langit. Spiritualitas memuncak ketika aku berani berlutut. Ketika aku berani mengosongkan diriku dari harga diri yang semu. Ketika aku berani merendahkan diri tanpa kehilangan martabat. Ketika aku berani melihat manusia paling sulit dalam hidupku dan berkata dalam hati: “Kamu tidak akan menjadi alasan bagiku untuk berhenti menjadi manusia.”

    Mengasihi Yudas bukanlah tindakan sentimental. Itu adalah pernyataan ontologis yang kuat: bahwa diriku tidak akan dibentuk oleh luka, tetapi oleh kasih. Bahwa kehidupanku tidak ditentukan oleh apa yang orang lakukan kepadaku, tetapi oleh siapa diriku menjadi sebagai respons terhadap mereka. Bahwa aku memilih jalan yang lebih tinggi, jalan yang menurun ke tanah, tetapi meninggikan jiwaku.

    Dan mungkin, memang di situlah rahasia terdalam dari cinta kepada Tuhan: bahwa kasih terbesar kepada-Nya tidak terletak pada bagaimana aku memandang ke atas, tetapi pada bagaimana aku memandang ke arah seseorang yang ingin kuhindari. Bahwa kasih kepada Tuhan tidak ditemukan di tempat-tempat tinggi, tetapi di ruang-ruang rendah di mana aku harus berlutut. Bahwa untuk mencintai Tuhan, aku harus berani mengasihi seseorang yang tidak memberi alasan untuk dicintai.

    Pada akhirnya, ketika aku mampu memberkati Yudas, yang berarti melayani, merendahkan diri, dan menjaga hatiku tetap jernih, aku sedang mengasihi Tuhan dengan cara yang tidak bisa ditiru oleh air mata atau emosi religius apa pun. Di situlah kasih mencapai bentuknya yang paling jernih: ketika aku bisa berlutut, bahkan saat hatiku ingin berdiri dan pergi.

    Dan mungkin, memang di situlah puncak iman: bukan ketika aku terbang tinggi, tetapi ketika aku memilih untuk turun, merendah, dan tetap menjadi manusia bagi seorang Yudas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Consciousness: The Gateway to Living Stillness

Her

Ketika Diam Lebih Keras dari Penjelasan