Kasih yang Tidak Memilih
Dalam perjalanan batinku, ada satu kesadaran yang terus menekan: aku sering memandang iman sebagai proyek pengembangan rasa. Aku menilai kedekatan spiritualku melalui apa yang aku rasakan terhadap Tuhan, melalui hangatnya dada saat berdoa, melalui air mata yang jatuh saat menyembah, melalui gejolak syukur yang muncul tanpa sebab. Tidak salah, tetapi ternyata dangkal. Aku terlalu sibuk mengamati gelombang emosi yang naik turun dalam diriku, sampai lupa bahwa kasih yang paling sejati justru diuji bukan oleh apa yang kurasakan tentang Tuhan, tetapi oleh cara aku memperlakukan manusia yang paling sulit kukasihi. Ada paradoks besar di sini: semakin aku mengejar pengalaman rohani yang indah, semakin aku terancam kehilangan inti dari kekristenan itu sendiri. Itu terlihat dalam sebuah adegan purba yang unik: seorang Guru, pribadi yang menjungkirbalikkan tatanan dunia, bangkit dari tempat-Nya, merendahkan diri, dan melakukan sesuatu yang bahkan para murid...