Saat Nama-Nama Lain Runtuh, Siapakah Kita?

    




    Ada sebuah momen sunyi dalam hidup ketika manusia, betapapun sibuk, betapapun penuh rencana, betapapun ia tampak kuat, tiba-tiba berhenti dan menyadari betapa rapuhnya fondasi tempat ia berdiri. Momen ketika segala hal yang dulu dijadikan sandaran tiba-tiba tidak lagi mampu menopang. Ketika itu terjadi, pertanyaan lama yang sering kita hindari mulai muncul kembali, seperti bisikan yang tidak bisa diredam:

“Siapa sebenarnya diriku ketika semua hal yang kubanggakan tidak ada?”

Pertanyaan ini tidak pernah sederhana. Ia tidak dapat dijawab dengan nama, pekerjaan, posisi, pencapaian, atau cerita masa lalu. Ia lebih menyerupai perjalanan masuk ke ruang-ruang terdalam batin, tempat manusia tak bisa lagi bersembunyi di balik struktur yang ia bangun sendiri.

    Dalam hidupku, aku pernah mengalaminya dengan cara yang sangat halus. Tidak ada tragedi besar, tidak ada krisis dramatis. Hanya perasaan samar bahwa diri ini mulai lelah menjadi apa yang dunia harapkan. Aku lelah mencoba memenuhi ekspektasi orang lain, lelah menjaga wajah tenang meski hati penuh badai, lelah menjadi “versi terbaik” yang tidak pernah benar-benar jujur. Dan setiap kali aku gagal, aku merasa seolah ada bagian dari diriku ikut hancur.

Dari sanalah aku belajar bahwa yang hancur bukanlah hidupku, melainkan identitas palsu yang selama ini kupertahankan.

Tanpa sadar, kita terbiasa membangun diri dari hal-hal yang bisa berubah: performa, penerimaan, validasi, kemampuan, karakter yang kita tonjolkan, “citra rohani” yang kita tampilkan, bahkan dari luka yang tidak kita akui. Kita hidup berdekatan dengan ketakutan, takut salah, takut gagal, takut ditinggalkan, sampai kita percaya bahwa ketakutan itu adalah bagian dari siapa diri kita.

    Banyak dari kita menyebut diri “anak Allah,” namun kita sering hidup seperti budak. Kita melayani karena takut tidak cukup rohani. Kita bekerja karena takut tidak berguna. Kita melakukan hal baik karena takut kehilangan kasih, bukan karena kita telah menerimanya sejak awal. Ada orang-orang yang tampak penuh iman di luar, tapi hatinya selalu gemetar di dalam. Mereka tidak berkata-kata, tapi tubuh mereka mengenang trauma lama: tangan bergetar, dada berdebar, pikiran mengulang-ulang, “Apa tadi aku salah? Kenapa aku ngomong? Harusnya aku diam.” Seolah seluruh keberadaan mereka harus melewati ujian sebelum dianggap layak bernafas.

Dan bagaimana tidak? Kita dibesarkan oleh dunia yang mengukur nilai manusia dari kecepatannya, keberhasilannya, betapa ia mampu menekan rasa takutnya dan menampilkan diri yang sempurna. Kita diajar sejak kecil bahwa menjadi kuat berarti tidak boleh terlihat rapuh; menjadi dewasa berarti tidak boleh dimengerti terluka; menjadi beriman berarti tidak boleh mempertanyakan apa pun.

Padahal, seluruh spiritualitas yang sejati dimulai dari keterbukaan untuk menjadi rapuh.

    Identitas sejati bukan sesuatu yang kita bangun, ia sesuatu yang kita temukan. Dan sering kali ia muncul justru ketika segala pencapaian kita runtuh satu per satu. Ketika kita tidak lagi bisa menyembunyikan sisi yang paling kita takuti. Ketika topeng-topeng yang kita pakai retak dan kita akhirnya harus berhadapan dengan diri yang paling jujur.

Di titik itu, satu-satunya yang tersisa adalah hubungan kita dengan Tuhan. Namun anehnya, justru pada momen paling telanjang itu kita mulai memahami apa artinya menjadi anak.

Yesus sendiri menunjukkan hal ini dengan cara yang sangat mencolok. Sebelum Ia melakukan mukjizat, sebelum Ia mengajar, sebelum Ia “berprestasi” suara Bapa telah berkata:
“Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu Aku berkenan.”

Tidak ada syarat. Tidak ada kinerja. Tidak ada penilaian. Tidak ada tuntutan untuk membuktikan diri. Identitas diberikan terlebih dahulu, sebelum kontribusi apa pun muncul.

Sementara kita, sering kali membalikkan proses itu:
kita berusaha melakukan lebih banyak agar merasa layak,
berusaha terlihat lebih rohani agar merasa diterima,
berusaha lebih kuat agar tidak tampak kurang sempurna.

Identitas kita perlahan dibangun berdasarkan kinerja, bukan kasih; berdasarkan prestasi, bukan kedekatan; berdasarkan opini, bukan keintiman.

    Karena itulah banyak orang Kristen mudah goyah. Kita percaya kita adalah anak Allah, tetapi hidup seperti seseorang yang selalu berada dalam masa percobaan. Kita cemas kalau-kalau Tuhan kecewa. Kita takut salah berbicara, takut salah melangkah, takut berbuat tidak cukup. Bahkan dalam percakapan biasa pun tubuh kita memberi sinyal ketakutan: gemetar, bingung, ingin menghilang. Kita sering bertanya-tanya, “Apa gunanya aku bicara? Apa aku layak bersuara?” Kita merasa kita harus mengamankan diri, padahal bukankah anak seharusnya hidup dari rasa aman?

Inilah yang ironis:
kita mencari identitas melalui performa, padahal identitas anak Allah hanya ditemukan melalui penerimaan.

    Ada bagian lain yang lebih sulit: menghadapi kepahitan. Banyak dari kita membawa luka masa kecil yang tidak pernah sepenuhnya sembuh. Luka itu membentuk pola pikir: tidak layak, tidak cukup, harus bekerja lebih keras, harus selalu benar. Kita takut disingkapkan. Kita takut melepaskan kontrol. Kita takut Tuhan melihat bagian yang kita sendiri malu mengakui.

Namun identitas sebagai anak justru diuji di tempat itu, di ruangan terdalam tempat kita menyimpan kepedihan yang kita pikir tidak boleh disentuh siapa pun. Tuhan tidak pernah meminta kita sembuh dulu baru datang; Ia datang justru untuk menyentuh yang kita sembunyikan. Keintiman dengan Bapa selalu dimulai dari keberanian untuk membuka pintu yang paling kita tutup rapat.

    Ketika kita mengizinkan diri dicintai seperti itu, identitas anak mulai mengambil bentuk di hati. Kita tidak lagi berusaha melindungi diri dengan perfeksionisme. Kita mulai memahami bahwa kegagalan bukan ancaman, tetapi bagian dari perjalanan pembentukan. Kita mulai melihat bahwa masa depan tidak perlu ditakuti, sebab kita disertai. Kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain, sebab cinta Bapa bukan kompetisi. Kita berhenti mengejar validasi orang, sebab kita telah diterima sepenuhnya.

Dan yang paling ajaib:
kita berhenti membenci diri.
Kita mulai memandang diri dengan mata yang lembut, seperti mata seorang Bapa kepada anaknya.

    Identitas anak Allah bukan teori. Ia nyata. Ia mengubah cara kita merespons dunia. Ia membungkam ketakutan terdalam kita. Ia menyembuhkan luka-luka yang tidak pernah kita berani buka. Ia mengembalikan kita kepada siapa diri kita sebelum trauma, sebelum ekspektasi, sebelum kegagalan mengeras menjadi rasa malu.

Ketika identitas palsu runtuh, yang tersisa bukan kehampaan…
melainkan rumah.
Rumah tempat jiwa kita seharusnya tinggal sejak awal.

Dan dalam keheningan itu, di antara segala kerentanan manusia yang tidak bisa kita sembunyikan lagi, suara Bapa terdengar tanpa tergesa, tanpa syarat:

“Engkau milik-Ku. Engkau dicintai sebelum berhasil, dan tetap dicintai ketika gagal.
Engkau aman bersama-Ku.”

Di situlah identitas kita berdiri.
Tidak pada apa yang kita lakukan,
melainkan pada hubungan yang tidak pernah berubah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Consciousness: The Gateway to Living Stillness

Her

Ketika Diam Lebih Keras dari Penjelasan