God Pleaser: A Becoming

    


    Ada masa dalam hidupku ketika aku pikir kebaikan berarti membuat semua orang bahagia. Aku berusaha menjadi orang yang bisa diandalkan, menyenangkan, dan tidak menimbulkan masalah. Aku cepat meminta maaf bahkan ketika bukan salahku, tersenyum meski kecewa, dan terus berkata “tidak apa-apa” agar suasana tetap aman. Awalnya kupikir itu bentuk kasih, tapi lama-lama aku sadar bahwa itu bukan cinta, melainkan ketakutan yang memakai baju kebaikan. Takut ditolak, takut kehilangan, takut dianggap egois, dan yang paling dalam, takut tidak layak dicintai apa adanya.

    Kita jarang membicarakan hal ini secara jujur. Dunia memuji keramahan, kesabaran, dan kebaikan hati, tanpa melihat bahwa kadang di balik semua itu ada jiwa yang perlahan kehilangan dirinya sendiri. Aku mulai menyadari bahwa aku telah belajar mencintai orang lain jauh sebelum aku belajar mencintai diriku sendiri, dan ternyata itu tidak seimbang.

    Suatu hari aku berhenti. Bukan karena tercerahkan, tapi karena benar-benar lelah. Lelah menjadi bayangan dari harapan orang lain, lelah menakar kata agar tidak menyinggung, lelah menjaga kesan agar tetap “baik.” Kelelahan ternyata bisa menjadi guru yang lembut. Ia memaksa kita berhenti dan mendengar, bukan suara dunia, tapi suara yang selama ini teredam di dalam diri. Suara yang tidak menuntut, tidak menilai, hanya berbisik: “Kamu tidak harus disukai semua orang untuk tetap berharga.”

    Menjadi diri sendiri ternyata bukan perkara sederhana. Untuk melakukannya, kamu harus siap kehilangan banyak hal penerimaan, validasi, bahkan cinta dari mereka yang terbiasa melihatmu dalam bentuk tertentu. Kita semua memakai topeng: topeng keramahan, keberhasilan, kesabaran. Kita memakainya bukan karena munafik, tapi karena manusia memang ingin diterima. Masalahnya, topeng yang terlalu lama kita kenakan bisa membuat kita lupa siapa diri kita sebenarnya.

    Aku mulai sadar, semakin keras aku berusaha diterima, semakin jauh aku tersesat dari diriku sendiri. Ada masa ketika aku takut, “Kalau aku berhenti menyenangkan orang, apa masih ada yang mau tinggal?” Tapi justru dari pertanyaan itulah kebebasan dimulai ketika kita berhenti mencari siapa yang akan tetap tinggal, dan mulai belajar tinggal untuk diri sendiri.

    Filsuf Jean-Paul Sartre pernah berkata bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan bukanlah hadiah yang ringan, melainkan tanggung jawab. Karena ketika kita bebas, kita tak lagi bisa bersembunyi di balik kehendak orang lain. Dan mungkin, menjadi people pleaser adalah cara halus kita melarikan diri dari beban kebebasan itu. Kita lebih suka mengalir mengikuti ekspektasi agar tidak harus memilih arah sendiri, agar tidak harus menanggung konsekuensi dari pilihan yang sepenuhnya kita buat. Tapi hidup yang terlalu aman sering kali berarti hidup yang tidak benar-benar dijalani.

    Nietzsche pernah menulis, “Mereka yang ingin dicintai dengan segala cara, akhirnya membenci dirinya sendiri.” Kini aku paham maksudnya. Saat kita menukar keaslian demi diterima, kita perlahan kehilangan rasa hormat terhadap diri sendiri. Cinta tanpa kejujuran bukanlah cinta, melainkan kontrak ketakutan.

    Seiring waktu, aku mulai belajar bahwa cinta sejati bukan soal selalu menyenangkan, tapi soal hadir dengan kejujuran. Kadang mencintai seseorang berarti berani berbeda pandangan dengannya. Kadang menghargai diri sendiri berarti berkata “tidak” dengan lembut tapi tegas. Dan kadang, yang paling sulit, adalah membiarkan orang kecewa tanpa mencoba memperbaikinya. Itu semua tidak mudah jika dasar hidup kita masih ingin disukai, tapi perlahan, ketika aku mulai melakukan sesuatu karena cinta bukan karena takut, semuanya terasa lebih ringan. Ternyata damai bukan datang saat semua orang bahagia dengan kita, melainkan saat kita berhenti berbohong pada diri sendiri.

    Sekarang aku mencoba menjalani hidup dengan cara yang lebih sederhana: melakukan sesuatu karena cinta, berkata jujur meski risikonya tidak disukai, berhenti menjelaskan diri kepada semua orang, dan membiarkan diam menjawab hal-hal yang tidak perlu dijawab. Kedewasaan ternyata bukan tentang bisa menahan emosi, tapi tentang tahu mana yang perlu dijaga dan mana yang tidak perlu lagi dipertahankan. Kadang orang yang kita kira berubah menjadi dingin sebenarnya hanya mulai tenang. Ia berhenti berjuang untuk pembenaran, berhenti hidup dari reaksi, dan mulai hidup dari kesadaran.

    Mungkin di situlah letak spiritualitas yang sesungguhnya, meski tanpa perlu nama atau doktrin: ketika kita mulai berjalan dengan hati yang ringan, bukan karena punya semua jawaban, tapi karena akhirnya berhenti berpura-pura.

    Aku tidak lagi menganggap “menjadi diri sendiri” sebagai cita-cita besar. Ini lebih seperti perjalanan pulang pelan, kadang berliku, kadang menyakitkan, tapi selalu menuju tempat yang benar. Aku tahu aku masih akan tergoda untuk kembali menyenangkan orang lain, mencari pengakuan, atau bermain aman. Tapi kini aku tahu, aku tidak harus tinggal di sana. Ada ruang yang lebih tenang di dalam diri, tempat aku bisa kembali kapan pun ruang keaslian.

    Menjadi diri sendiri bukan tentang mencapai versi terbaik, tapi tentang terus kembali setiap kali kita tersesat. Karena pada akhirnya, hidup tidak perlu sempurna agar bisa damai. Cukup jujur, cukup sadar, dan cukup berani untuk setia pada nurani. Dan ketika kita hidup dari tempat itu — tempat yang tenang, jujur, dan tulus dunia boleh berubah, tapi hati kita tahu arah pulang.

“I am in the becoming — the slow turning from pleasing people to pleasing God.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Consciousness: The Gateway to Living Stillness

Her

Ketika Diam Lebih Keras dari Penjelasan