Di Antara Kehilangan dan Kedamaian
Ada seorang manusia yang berjalan di jalan panjang, membawa sebuah beban di punggungnya. Awalnya, beban itu terasa wajar. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Ini bagian dari hidup. Aku harus kuat. Aku bisa menanggungnya.” Hari demi hari, ia tetap melangkah, meski langkahnya semakin berat.
Beban itu kadang memberinya sedikit kehangatan, kadang memberinya rasa memiliki. Namun, perlahan ia mulai menyadari sesuatu: beban itu lebih sering menguras tenaganya daripada menguatkan. Punggungnya sakit, napasnya sesak, matanya lelah. Namun ia tetap bertahan, karena ia takut. Takut kehilangan, takut dicap gagal, takut menghadapi kehampaan bila suatu hari ia meletakkannya.
Sampai suatu malam, ia duduk sendirian. Angin berembus pelan, membawa suara-suara sunyi yang tak bisa ia abaikan. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan kecil: “Mengapa kamu terus menanggung sesuatu yang tidak lagi menghidupkanmu?”
Ia ingin menolak, ingin berkata, “Ini jalanku, ini tanggung jawabku.” Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bisikan itu benar. Beban itu bukan lagi bagian dari dirinya, hanya kebiasaan lama yang ia genggam terlalu erat.
Hari-hari berikutnya ia bergulat dengan dirinya sendiri. Ada sisi yang ingin melepaskan, ada sisi lain yang menjerit ketakutan. Ia menangis, ia berdoa dalam diam, ia bertanya: “Apa yang harus kulakukan?” Dan meski jawaban tidak datang seketika, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda: sebuah ketenangan samar, seperti cahaya redup di kejauhan.
Akhirnya, dengan gemetar, ia menurunkan beban itu dari punggungnya. Langkah pertama terasa aneh, seolah ia kehilangan bagian dari dirinya. Tapi langkah kedua lebih ringan. Langkah ketiga lebih tenang. Perlahan, ia mulai merasakan kebebasan yang sudah lama hilang.
Ia masih rindu pada beban itu, masih ada rasa bersalah, masih ada keraguan. Namun, setiap kali ia melangkah menjauh, ia menyadari bahwa ada ruang baru dalam dirinya ruang untuk bernapas, ruang untuk tersenyum, ruang untuk damai.
Kisah itu mungkin bukan hanya kisah satu orang. Ia adalah kisah banyak jiwa yang terus menggenggam sesuatu yang menguras, padahal hati mereka rindu pulang. Kita semua, dalam cara masing-masing, pernah menjadi pejalan itu: bertahan terlalu lama karena takut, padahal damai sudah menunggu di depan.
Melepaskan tidak berarti gagal. Melepaskan adalah tanda keberanian: keberanian untuk mengakui bahwa hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam luka yang sama. Dan meskipun langkah pertama terasa paling berat, justru di situlah letak keajaibannya. Sebab langkah kecil itu, sekecil apa pun, adalah awal dari perjalanan pulang menuju damai.
Pada akhirnya, kita semua dipanggil bukan untuk menanggung beban yang mengikis, melainkan untuk berjalan ringan. Jiwa kita diciptakan bukan untuk terus berada dalam lingkaran luka, melainkan untuk merasakan kebebasan dan kedamaian yang sudah tersedia sejak semula.

Komentar
Posting Komentar