Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Kebijaksanaan Dua Rasa

Gambar
          Hidup sering kali kita bayangkan sebagai garis lurus: ada waktu untuk tertawa dan ada waktu untuk menangis, ada musim bahagia dan ada musim berduka. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit. Ada hari-hari di mana sukacita dan duka justru hadir bersamaan, duduk di meja yang sama, saling menatap tanpa saling menghapus.      Kita bisa tertawa, namun air mata tetap mengalir. Kita bisa merasa bersyukur, namun di saat yang sama merindukan sesuatu yang hilang. Kita bisa tersenyum tulus, sambil tetap merasakan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dua perasaan yang tampak bertolak belakang itu ternyata tidak pernah saling membatalkan. Mereka hanya saling melengkapi, seperti siang yang tidak bisa berdiri tanpa bayangan malam.      Ada keindahan yang aneh dalam paradoks ini. Kita sering diajarkan untuk memilih: antara bahagia atau sedih, antara kuat atau rapuh. Padahal, kehidupan yang sejati tidak pernah sesederhana itu. Jiwa manusi...

Di Antara Kehilangan dan Kedamaian

Gambar
           Ada seorang manusia yang berjalan di jalan panjang, membawa sebuah beban di punggungnya. Awalnya, beban itu terasa wajar. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Ini bagian dari hidup. Aku harus kuat. Aku bisa menanggungnya.” Hari demi hari, ia tetap melangkah, meski langkahnya semakin berat.      Beban itu kadang memberinya sedikit kehangatan, kadang memberinya rasa memiliki. Namun, perlahan ia mulai menyadari sesuatu: beban itu lebih sering menguras tenaganya daripada menguatkan. Punggungnya sakit, napasnya sesak, matanya lelah. Namun ia tetap bertahan, karena ia takut. Takut kehilangan, takut dicap gagal, takut menghadapi kehampaan bila suatu hari ia meletakkannya.      Sampai suatu malam, ia duduk sendirian. Angin berembus pelan, membawa suara-suara sunyi yang tak bisa ia abaikan. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan kecil: “Mengapa kamu terus menanggung sesuatu yang tidak lagi menghidupkanmu?”  ...

Di Titik Reruntuhan

Di ujung pena, kata-kata menari di ambang antara darah, api, dan jeritan massa. Di kota meluas—Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar— demonstrasi tak lagi sekadar usulan, tapi lukisan luka bersama. Satu pengemudi ojek terbujur diam, jiwanya terenggut di jalan beton. Di Makassar, tiga tubuh menyerah pada api. Dan bumi ini menunduk, berduka diam-diam. Namun, di sela gas air mata, ada pelukan seorang ibu yang tak sempat berteriak. Ada tangan asing yang mengangkat tubuh roboh, ada doa yang naik, meski suaranya serak. Kasih—barangkali masih bersembunyi di reruntuhan, menunggu ditemukan di antara batu dan bara. Kasih—bisa jadi bukan sorak kemenangan, melainkan sepasang mata yang menatap musuhnya dan berkata lirih: kau pun manusia sepertiku. Jika api lahir dari amarah, biarlah air lahir dari kasih, menyusup ke celah retak bangsa, mendinginkan, menyatukan, meski hanya setetes— karena setetes pun bisa menumbuhkan bunga di tanah yang mengeras oleh luka.