Refleksi perjalanan pulang dalam diam
Tidak semua perjalanan memiliki suara langkah.
Beberapa di antaranya terjadi dalam diam.
Dan beberapa hari ini, aku sedang menempuh perjalanan semacam itu.
Tidak ada perubahan besar di luar.
Tapi di dalam, ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah kesadaran perlahan:
bahwa aku sedang mencari, atau mungkin lebih tepatnya "aku sedang dipanggil pulang."
Pulang, bukan ke sebuah tempat,
tetapi kepada Sumber segala terang.
Dan dalam proses itu, aku menemukan satu hal yang sangat penting:
Api di dalam diriku belum padam.
Dalam keheningan hari-hari ini, aku menyadari bahwa aku lelah.
Tapi bukan jenis lelah yang bisa disembuhkan dengan tidur.
Ini adalah lelah yang datang dari jiwa yang terus mencari, terus memberi,
namun sering lupa untuk berhenti dan menerima.
Namun di tengah lelah itu, ada nyala kecil.
Diam. Tenang. Tapi tetap menyala.
Aku belum menyerah.
Dan itu adalah bentuk kekuatan yang baru aku kenali.
Bahwa terkadang, tidak menyerah adalah bentuk ibadah paling dalam.
Salah satu ayat yang begitu berbicara kepadaku hari ini adalah:
“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala.
Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”
(Matius 10:16)
Ayat ini seperti dua kutub yang tampak bertentangan:
Cerdik… dan tulus.
Bijaksana… dan murni.
Tapi di sanalah letak keindahannya.
Tuhan tidak memanggilku untuk memilih salah satu.
Ia memanggilku untuk hidup di tengah ketegangan itu:
bijak dalam membaca dunia, tapi tidak kehilangan kemurnian hati.
berani mengambil langkah, tapi tetap berakar dalam kasih.
Dan mungkin—itulah panggilan terdalam kita semua:
Menjadi utuh, di tengah dunia yang sering memecah.
Aku membayangkan diriku sebagai sebuah nyala yang berdiri di tengah gelap.
Tidak besar. Tidak membakar segalanya.
Tapi cukup untuk memberi arah.
Cukup untuk mengatakan: “Aku belum selesai.”
Dan mungkin, Tuhan tidak mencari api yang menggelegar.
Tuhan mencari hati yang tetap bersinar,
walau tidak ada yang melihat,
walau tidak semua mengerti.
Terkadang, nyala yang setia di tempat tersembunyi
lebih berharga daripada kobaran yang cepat padam di atas panggung.
Hari-hari ini aku tidak tiba di tujuan besar.
Aku bahkan tidak tahu pasti ke mana langkah berikutnya.
Tapi aku tahu, aku sedang berbalik.
Dari semua hal yang menyesatkan, dari semua pencarian yang kosong,
hatiku sedang mengarah kembali kepada Pribadi yang telah memanggilku sejak awal.
Dan rupanya, pulang tidak selalu berarti sampai.
Kadang, pulang berarti mulai berjalan kembali ke arah yang benar.
Aku tidak perlu tahu semuanya hari ini.
Aku hanya perlu tetap menyalakan nyala itu.
Karena ternyata, dalam dunia yang terus bergerak,
keberanian untuk tetap menyala adalah bentuk pulang yang paling nyata.
Jika kamu juga merasa gelisah,
jika hatimu tidak tenang,
jika kamu merasa langkahmu tidak pasti,
aku ingin berkata: kamu tidak sendiri.
Kegelisahanmu bukan kelemahan.
Itu mungkin adalah undangan.
Tuhan tidak menunggu kesempurnaan. Dia menunggu kejujuran.
Dan setiap langkah kecilmu—walau gemetar—adalah langkah yang kudus,
asalkan mengarah kepada-Nya.
Aku belum tahu semua jawabannya.
Tapi beberapa hari ini cukup untuk menyadarkanku:
nyala itu masih ada.
Dan selama nyala itu menyala,
aku tahu aku belum selesai.
Tidak peduli seberapa kecil,
selama ia dari Tuhan,
ia cukup untuk menerangi jalanku pulang.
Untuk siapa pun yang sedang dalam perjalanan,
semoga kamu juga menemukan bahwa nyala di dalammu belum padam.
Dan semoga itu cukup untuk hari ini.
Beberapa hari ini Tuhan mengizinkanku menyelami diriku lebih dalam. Dan mungkin tulisan ini bukan hanya catatan harian, tapi juga nyala kecil dari obor yang kubawa—untuk siapa pun yang juga sedang mencari jalan pulang.
Komentar
Posting Komentar