Senin, 13 November 2017

Solilokui Si Pemikir


I’ve lived out my melancholy youth. I don’t give a fuck anymore what’s behind me, or what’s ahead of me. I’m healthy. Incurably healthy. No sorrows, no regrets. No past, no future. The present is enough for me. Day by day. Today! (Tropic of Cancer, Henry Miller)

 

Dia melihat Tuhan dan iblis sebagai satu kesatuan. Baginya tak ada lagi batasan baik dan buruk, pahala dan dosa. Surga dan neraka pun telah manunggal menjadi satu dalam hidupnya di dunia. Baginya yang pasti hanyalah dirinya sendiri, apa yang ada di kepalanya,  perasaan-perasaan aneh yang berkecamuk dijiwanya, hanya itulah yang pasti. Yang lain hanyalah citra. Toh setiap benda pastilah mengada. Realita yang dianggapnya realita sesungguhnya hanyalah citra yang disimpulkan di otaknya. Citra yang merupakan sebuah fungsi dari apa yang ditangkap indera, dengan apa yang dipahami dari kejadian-kejadian hidupnya– buku-buku dan teori-teori hanya membahasakannya saja. Maka tak sekali dua kali realita yang ditangkapnya hanyalah tipuan saja. Tak apa, ia masih terus bergerak, terus mengalami, terus berevolusi. Ya, pemahaman adalah sebuah sumur tak berdasar rupanya.

Hidup adalah kebebasan yang telanjang. Tapi dialah yang terlebih dahulu harus belajar menelanjanginya, hingga terlihatlah lapis demi lapis kehidupan yang jadi semakin mirip lapisan bawang merah ini.

Dia pun telah menemukan bahwa segala hal di dalam hidupnya bisa jadi sangat menarik, tidak sekadar makan, bernafas dan sebagainya untuk bertahan hidup. Semakin detail diperhatikannya sesuatu, semakin menarik hal itu, bahkan setitik debu tak terlihat sekalipun. Keingintahuannya persis seperti bocah yang baru mengenal dunia. Maka didapatinya hal-hal menarik yang menjadikan hidupnya menyenangkan. hal-hal yang telah dilupakan orang-orang yang tenggelam ke dalam kehidupan.

Dia tak memikirkan uang, tak memikirkan sumber kehidupan, tak memikirkan harapan-harapan. Dia hanya menghidupi hari ini, setiap detik yang bisa diraba, setiap terik mentari yang menusuk kulit, setiap kerikil tajam yang melukai kakinya, setiap makhluk yang sengaja atau tak sengaja yang dijumpainya, setiap sedih dan sakit yang membuatnya hujan lokal disudut mata, setiap senang yang membuatnya tersenyum simpul dan tertawa dalam hati. Dia selalu menertawakan dirinya yang ternyata bisa menyimpulkan telah jatuh cinta, ternyata ada orang yang tak dikenal sekaligus dikenalnya yang membuatnya ingin menerima orang itu sekalipun telah disadarinya sisi gelap dan segala kemungkinan-kemungkinan dibaliknya. Dia bisa menertawai segala kesalahan-kesalahannya, ketidakmampuannya untuk jujur pada perasaan sendiri dan ego dirinya yang (masih) terlalu tinggi.  Dia tak memikirkan esok. Dia khianati diagram teratas maslow, dia tak perlu mengada dan berusaha ada.

 

Dia adalah manusia paling bahagia di seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesendirian yang Sirna Saat Jiwa Pulang: Sebuah Renungan tentang Diri

    Di zaman ketika koneksi digital mudah didapat, namun keintiman batin makin langka, kesepian menjadi epidemi yang sunyi. Kita mengeliling...