Postingan

Kasih yang Tidak Memilih

     Dalam perjalanan batinku, ada satu kesadaran yang terus menekan: aku sering memandang iman sebagai proyek pengembangan rasa. Aku menilai kedekatan spiritualku melalui apa yang aku rasakan terhadap Tuhan, melalui hangatnya dada saat berdoa, melalui air mata yang jatuh saat menyembah, melalui gejolak syukur yang muncul tanpa sebab. Tidak salah, tetapi ternyata dangkal. Aku terlalu sibuk mengamati gelombang emosi yang naik turun dalam diriku, sampai lupa bahwa kasih yang paling sejati justru diuji bukan oleh apa yang kurasakan tentang Tuhan, tetapi oleh cara aku memperlakukan manusia yang paling sulit kukasihi. Ada paradoks besar di sini: semakin aku mengejar pengalaman rohani yang indah, semakin aku terancam kehilangan inti dari kekristenan itu sendiri.      Itu terlihat dalam sebuah adegan purba yang unik: seorang Guru, pribadi yang menjungkirbalikkan tatanan dunia, bangkit dari tempat-Nya, merendahkan diri, dan melakukan sesuatu yang bahkan para murid...

Saat Nama-Nama Lain Runtuh, Siapakah Kita?

Gambar
          Ada sebuah momen sunyi dalam hidup ketika manusia, betapapun sibuk, betapapun penuh rencana, betapapun ia tampak kuat, tiba-tiba berhenti dan menyadari betapa rapuhnya fondasi tempat ia berdiri. Momen ketika segala hal yang dulu dijadikan sandaran tiba-tiba tidak lagi mampu menopang. Ketika itu terjadi, pertanyaan lama yang sering kita hindari mulai muncul kembali, seperti bisikan yang tidak bisa diredam: “Siapa sebenarnya diriku ketika semua hal yang kubanggakan tidak ada?” Pertanyaan ini tidak pernah sederhana. Ia tidak dapat dijawab dengan nama, pekerjaan, posisi, pencapaian, atau cerita masa lalu. Ia lebih menyerupai perjalanan masuk ke ruang-ruang terdalam batin, tempat manusia tak bisa lagi bersembunyi di balik struktur yang ia bangun sendiri.      Dalam hidupku, aku pernah mengalaminya dengan cara yang sangat halus. Tidak ada tragedi besar, tidak ada krisis dramatis. Hanya perasaan samar bahwa diri ini mulai lelah menjadi ...

Ketika Diam Lebih Keras dari Penjelasan

     Ada masa di hidupku ketika aku merasa harus selalu menjelaskan diri. Setiap kali disalahpahami, rasanya seperti dunia runtuh. Aku ingin orang lain tahu niatku, mengerti sudut pandangku, melihat sesuatu seperti yang kulihat. Tapi makin aku berusaha menjelaskan, makin aku sadar, yang sebenarnya kucari bukan pemahaman, tapi penerimaan.      Namun di balik keinginan untuk diterima, tersembunyi hasrat yang lebih dalam dan lebih halus: keinginan untuk membuktikan diri . Aku ingin dunia tahu bahwa aku tidak gagal. Bahwa aku kuat, bijak, dan tahu apa yang kulakukan. Aku ingin Tuhan bangga, tapi diam-diam aku juga ingin dunia menepuk pundakku. Aku ingin dipercaya, diakui, dihormati. Dan di situlah racunnya mulai bekerja, karena aku menjadikan validasi dunia sebagai ukuran berkat Tuhan.      Aku tahu rasanya disalahpahami. Rasanya seperti berteriak dalam ruang hampa, suaramu ada, tapi tak sampai. Orang hanya menangkap potongan-potongan dirimu, d...

Tentang Burung-Burung

Gambar
     Ada sore yang tak akan kulupa sore ketika aku duduk diam menatap langit yang mulai berubah warna dari jingga ke ungu, dan sekumpulan burung melintas di atas kepalaku. Mereka terbang rendah, lalu naik tinggi lagi, membentuk pola yang tak teratur namun indah. Tidak ada tanda kekhawatiran dalam gerak mereka. Tidak ada ketegangan, tidak ada perhitungan. Hanya kebebasan yang murni. Di tengah diam itu, sebuah ayat muncul di dalam benakku, seperti suara yang tak datang dari luar: “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:26) Ayat itu sudah sering kudengar, tapi sore itu untuk pertama kalinya aku benar-benar mendengarnya.     Aku melihat burung-burung itu, dan sesuatu di dalam diriku mulai retak perlahan. Selama ini aku hidup dalam ketegangan yang halus namun terus-menerus: harus men...

I’m Present, But I’m Not Your Rescuer

Gambar
          Ada masa ketika aku pikir mencintai berarti selalu hadir, selalu ikut campur, selalu menjadi penolong pertama yang berlari ketika seseorang yang aku sayangi jatuh. Terutama keluarga. Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa menjadi “baik” berarti menjadi penampung semua keresahan mereka. Sampai suatu hari aku duduk di ruang makan, melihat salah satu anggota keluargaku berjuang dengan masalahnya sendiri, dan ada dorongan refleks dalam diriku untuk ikut membenahi semuanya. Tapi ditengah denyut jantung yang semakin cepat, ada sebuah kesadaran pelan-pelan berbisik: ini bukan tugasku untuk menyelesaikannya. Tugas kita bukan selalu memperbaiki, tetapi mengasihi. Dan terkadang, mengasihi berarti membiarkan orang lain belajar berdiri dari lantainya sendiri.      Di saat itulah aku mulai mengerti bahwa batas boundaries bukan tembok yang memisahkan, tetapi ruang yang memungkinkan cinta tetap bernapas. Selama ini kita sering salah paham: kita pikir...

Consciousness: The Gateway to Living Stillness

Gambar
 “Kesadaran bukan tujuan, melainkan pintu gerbang, tempat di mana jiwa mulai mengenali siapa yang sebenarnya hidup di dalamnya.”      Di balik segala pencarian spiritual dan kesibukan berpikir, ada satu hal yang sering terlupakan: kesadaran itu sendiri. Bukan sekadar tahu, tapi hadir. Bukan sekadar mengerti, tapi menyadari. Tulisan ini mengajakmu menelusuri kesadaran sebagai pintu gerbang menuju keheningan, keberadaan, dan perjumpaan dengan yang Ilahi di dalam diri.      Ada masa dalam hidup ketika semua pencarian terasa melelahkan. Kita membaca banyak buku rohani, mengejar pengalaman batin, bahkan berdoa dengan sungguh, tapi entah mengapa semakin kita mencari yang Ilahi, Ia terasa semakin jauh.      Aku pun pernah sampai di titik itu. Segala sesuatu yang dulu kukira akan menenangkan justru menambah kegelisahan. Sampai akhirnya aku berhenti. Bukan karena menyerah, tapi karena lelah, dan di kelelahan itulah kesadaran mulai berbicar...

God Pleaser: A Becoming

Gambar
          Ada masa dalam hidupku ketika aku pikir kebaikan berarti membuat semua orang bahagia. Aku berusaha menjadi orang yang bisa diandalkan, menyenangkan, dan tidak menimbulkan masalah. Aku cepat meminta maaf bahkan ketika bukan salahku, tersenyum meski kecewa, dan terus berkata “tidak apa-apa” agar suasana tetap aman. Awalnya kupikir itu bentuk kasih, tapi lama-lama aku sadar bahwa itu bukan cinta, melainkan ketakutan yang memakai baju kebaikan. Takut ditolak, takut kehilangan, takut dianggap egois, dan yang paling dalam, takut tidak layak dicintai apa adanya.      Kita jarang membicarakan hal ini secara jujur. Dunia memuji keramahan, kesabaran, dan kebaikan hati, tanpa melihat bahwa kadang di balik semua itu ada jiwa yang perlahan kehilangan dirinya sendiri. Aku mulai menyadari bahwa aku telah belajar mencintai orang lain jauh sebelum aku belajar mencintai diriku sendiri, dan ternyata itu tidak seimbang.      Suatu hari...